Mohon tunggu...
Syahkira Putri Arwiana
Syahkira Putri Arwiana Mohon Tunggu... Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi

Saya adalah seorang mahasiswa yang suka membaca dan menulis, diluar itu saya juga senang bernyanyi saat waktu senggang. Saya juga berkepribadian disiplin dan suka beropini akan hal baru, dari situlah timbul cela untuk menambah wawasan yang lebih luas. Dan… saya juga mudah untuk berbaur bersama orang baru, karena dari situ juga relasi hidup bertambah. Nice to meet you, guys!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tindakan Tenaga Kesehatan Yang Menunjukkan Perbedaan Pelayanan Pasien BPJS Kesehatan Dan Umum

5 Juni 2025   17:29 Diperbarui: 14 Oktober 2025   08:14 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dosen Pengampu: Dr. Arrie Budhiartie, S.H., M.Hum.

Syahkira Putri Arwiana
Fakultas Hukum Universitas Jambi
E-mail: syahkiraputri241206@gmail.com

Kasus diskriminasi pasien BPJS yang pernah viral terjadi di RSUD Kabupaten Ciamis pada 09 Februari 2023 adalah cerminan nyata dari permasalahan sistemik dalam layanan kesehatan di Indonesia, memang TIDAK semuanya namun RATA-RATA seperti itu. Kejadian ini bukan sekedar tindakan individu beberapa tenaga kesehatan, tetapi juga menyingkap adanya celah dalam sistem pelayanan yang memungkinkan perlakuan tidak adil terhadap pasien berdasarkan metode pembayaran mereka. Padahal, prinsip dasar pelayanan kesehatan seharusnya adalah kesetaraan setiap pasien, tanpa memandang status ekonomi atau kepesertaan asuransi yang harus mendapatkan layanan yang sama baiknya.

Dalam banyak kasus, pasien BPJS sering kali dianggap sebagai "beban" oleh beberapa rumah sakit. Hal ini bisa jadi dipicu oleh sistem pembayaran BPJS yang dianggap kurang menguntungkan dibanding pasien umum yang membayar langsung. Rumah sakit swasta misalnya, sering memilih memberikan prioritas kepada pasien umum karena pembayaran dari mereka lebih cepat dan tanpa batasan tarif yang ditetapkan BPJS. Sementara itu, rumah sakit pemerintah, yang seharusnya berfungsi sebagai fasilitas pelayanan publik, juga tidak jarang memperlihatkan kecenderungan serupa, sebagaimana yang terjadi di RSUD Ciamis.

Namun, yang paling disayangkan dari kasus ini adalah keterlibatan tenaga kesehatan dalam tindakan diskriminasi. Seharusnya, mereka yang bekerja di bidang kesehatan memiliki empati tinggi terhadap semua pasien, terlepas dari latar belakang mereka sekalipun. Tindakan membedakan pasien BPJS dan umum mencederai etika profesi medis, yang mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan pasien di atas segalanya. Meskipun mungkin ada faktor eksternal seperti tekanan dari manajemen rumah sakit atau sistem pembiayaan yang tidak ideal, hal itu seharusnya tidak menjadi alasan untuk mengurangi kualitas pelayanan terhadap pasien BPJS.

Menurut saya, kasus ini juga memperlihatkan kurangnya pengawasan yang ketat dari pihak terkait. Jika tidak ada laporan masyarakat atau viralnya video tersebut, kemungkinan besar praktik diskriminasi semacam ini akan terus terjadi tanpa ada tindakan nyata. Ini menunjukkan perlunya reformasi dalam sistem pengawasan layanan kesehatan, baik dari pemerintah maupun lembaga independen, untuk memastikan bahwa semua rumah sakit terutama yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan mematuhi standar pelayanan yang telah ditetapkan.

Di sisi lain, masalah ini tidak bisa hanya dibebankan kepada rumah sakit atau tenaga kesehatan semata. BPJS Kesehatan sendiri perlu melakukan evaluasi terhadap sistem pembayaran mereka. Jika tarif pelayanan yang mereka berikan memang tidak mencukupi untuk menjaga standar pelayanan yang sama dengan pasien umum, maka harus ada revisi sistem agar rumah sakit tidak merasa dirugikan. Mungkin perlu dipertimbangkan adanya skema insentif tambahan untuk rumah sakit yang memberikan pelayanan prima kepada pasien BPJS, atau kebijakan yang memastikan bahwa tenaga kesehatan tetap mendapatkan kompensasi yang layak.

Dari sudut pandang masyarakat, kejadian ini harus menjadi momentum untuk lebih aktif dalam mengawasi dan melaporkan jika menemukan ketidakadilan dalam layanan kesehatan. Karena dilihat dari banyaknya komentar netizen terkait konten yang dibuat oleh 3 nakes tersebut, banyak orang yang mengalami bahwa konten itu adalah cerminan nyata dari para tenaga kerja kesehatan yang berada dibeberapa RSUD ataupun Puskesmas setempat. Padahal dibalik itu semua, pasien BPJS memiliki hak yang sama dengan pasien umum, dan jika hak tersebut tidak dipenuhi, mereka harus berani bersuara. Kasus ini membuktikan bahwa media sosial memiliki kekuatan besar dalam menyoroti permasalahan yang mungkin selama ini terabaikan.

Maka yang dapat saya simpulkan ialah, kasus diskriminasi pasien BPJS di RSUD Ciamis bukan hanya masalah individu atau rumah sakit tertentu, tetapi lebih luas lagi adalah masalah sistemik yang memerlukan perbaikan dari berbagai aspek pengawasan pemerintah, kebijakan BPJS, serta perubahan mindset tenaga kesehatan dan masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem ini dibiarkan tanpa ada perbaikan yang berarti, maka akan semakin banyak pasien BPJS yang merasa diperlakukan tidak adil, yang pada akhirnya akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem jaminan kesehatan nasional. Yang sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, dan tujuan dari Undang-Undang ini ialah untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, melindungi masyarakat, mengatur kewenangan dan tanggungjawab tenaga kesehatan.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun