Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

FPI (Masih) Tetap Dibutuhkan

6 April 2016   14:09 Diperbarui: 6 April 2016   14:55 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam konteks demokratisasi, kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul harus ada jaminan dari negara. Negara bisa saja memberikan ruang alternatif kepada  masyarakat dalam rangka melakukan kontrol dan berperan sebagai penyeimbang kekuasaan. Jika memang negeri ini menjalankan prinsip-prinsip demokrasi, maka sudah seharusnya dapat memberikan jaminan kebebasan kepada individu ataupun kelompok untuk bersikap dan bahkan mengekspresikan dirinya dalam ranah sosial, agama maupun politik. Sebagaimana yang kita dapat lihat dari berbagai sikap dan aksi yang dilakukan organisasi massa, seperti Front Pembela Islam (FPI).

FPI yang dipimpin oleh Habib Riziq Syiehab seringkali di cap sebagian kalangan sebagai organisasi massa yang kerap kali “mengganggu”, “memberikan ketakutan” dengan menampilkan “sosok” khas organisasi yang kental dengan kritik-kritiknya yang keras, apa adanya tanpa tedeng aling-aling, “provokatif”, atau “mempertontonkan aksi massa” dan masih banyak seabreg penilaian-penilaian nyinyir sebagian masyarakat terhadap organisasi massa yang mirip jama’ah pengajian ini. Padahal, kondisi sebenarnya sebagaimana diwakili oleh serentetan kritik-kritik FPI juga seringkali dilakukan oleh kelompok-kelompok lain, atau bahkan bisa siapa saja termasuk para petinggi negeri ini, mereka biasa ngomong kasar, bernada provokatif, sarkastis, mempertontonkan kebencian atau bahkan bisa jadi lebih mengerikan dan menakutkan cara mengungkapan ekspresinya. Lalu kenapa jika orang melakukan kritik dengan keras, kasar, dengan ekspresinya yang meledak-ledak kemudian hanya disematkan kepada FPI? Padahal yang lebih keras dan lebih kasar sudah tentu lebih banyak dan tentunya menjadi bahan tontonan di negeri ini. Bukannya lebih baik bicara blak-blakan, kasar atau provokatif ketimbang korupsi?

Demokrasi menyiratkan kedewasaan dalam berpolitik, bermasyarakat dan bernegara, sehingga ekspresi apapun yang hendak ditunjukkan apalagi berhubungan dengan kritik terhadap kekuasaan justru harus dilindungi oleh negara. Apa yang dilakukan FPI selama ini merupakan upaya membangun “kritik” dengan mengedepankan “karakter” yang berbeda dan mungkin “tidak biasa” untuk sebagian kalangan. Justru dengan berpegang pada prinsip-prinsip demokrasi, ini merupakan hal wajar dan tidak melanggar undang-undang. Setiap individu atau kelompok dalam masyarakat bisa saja menampilkan suguhan-suguhan kritik yang berbeda dengan individu atau kelompok lainnya. Setiap perbedaan dalam masyarakat adalah hal yang wajar, sebagaimana terdapat perbedaan agama atau perbedaan pandangan politik. Dalam hal beragama, meskipun ajaran agama mengajarkan untuk menghormati ajaran agama lain, tetap saja masih sulit dalam prakteknya untuk dapat menghormati penganut agama yang berbeda, demikian juga betapa sulitnya menghargai dan menghormati pendirian politik golongan lain yang tidak sejalan dengan pendirian partai yang dianut seseorang.

Sebagai organisasi massa (Islam), FPI menunjukkan gaya retorika politiknya sendiri dengan model ekspresi melalui aksi-aksi massa sebagai wujud kritik dan penyeimbang terhadap kekuasaan. Apalagi saat ini, hampir tidak ada prilaku elit atau pemangku kekuasaan yang bisa dijadikan suri tauladan bagi masyarakat, terutama di Indonesia. Para elite cenderung memanipulasi, bermain opini dengan menggandeng “pengusaha-pengusaha” yang pada akhirnya yang muncul adalah para pengusaha bersekongkol dengan elite politik untuk mendanai munculnya kelompok-kelompok politik atau aktivis-aktivis politik tertentu yang justru semakin menjatuhkan negara dalam praktek oligarki yang telah dikecam sejak lama.

Sosok FPI merupakan gambaran organisasi massa yang jauh lebih penting dan berguna dibanding dengan organisasi-organisasi politik misalnya, yang hanya mengejar kekuasaan sehingga memanfaatkan klik dengan cara menghubungkan antara penguasa-pengusaha sebagai bentuk patronase yang sarat aroma kolusi, nepotisme dan korupsi. Keberadaan FPI di Indonesia masih berada dalam bingkai “penyeimbang” bagi kekuasaan negara, sehingga keberadaanya masih berguna bagi masyarakat. Tidak ada organisasi semisal yang memiliki massa cukup banyak tetapi tetap concern dalam hal pemberantasan terhadap apa yang disinyalir sebagai “penyakit masyarakat”, “premanisme politik”, “manipulasi-manipulasi politik” meskipun terkadang dilakukan dengan cara yang memang kurang elegan, kurang simpatik dan cenderung mempertontonkan “kekuatan massa”. Dalam beberapa hal, FPI telah berhasil menjadi kekuatan penyeimbang bagi arogansi kekuasaan yang dinilai korup, minimal oleh kelompok mereka sendiri. Kekuasaan “korup” yang saya maksud adalah kekuasaan yang bersifat “merusak” karena corruption yang berasal dari kata corrumpere memiliki konotasi makna merusak, busuk, memutar balik dan menyogok. Sesuai makna yang diambil dari bahasa Arab, yaitu fasad dengan memiliki makna yang kurang lebih sama.

Asumsi-asumsi sebagian orang mengenai organisasi yang bernama FPI sejauh ini masih dilingkupi oleh kondisi “like and dislike” sehingga potret seutuhnya mengenai organisasi ini masih sangat bias. Memang, sebagai organisasi, FPI senantiasa dipenuhi atribut-atribut keislaman, seperti gamis, kopeah putih, sorban atau "ungkapan-ungkapan" penyemangat keagamaan. Bagi saya, atribut tidaklah begitu penting, karena siapa saja, dimana saja dapat dan berhak menggunakan atribut apa saja yang menjadi ciri khas dia meskipun berbeda dari realitas sosial sesungguhnya, atribut hanyalah sekedar image yang bisa saja berbeda dari realitas yang sebenarnya.

Layaknya membangun image, FPI telah membangun strategi potitioning yang berbeda dari organisasi massa lainnya. Image yang selama ini ditangkap oleh masyarakat mengenai atribut-atribut keagamaan yang dipakai FPI, berasal dari apa yang dimaksud dengan construed external image, sehingga menumbuhkan kesan dibanyak benak orang dengan mengedepankan subjektivas dengan membangun image FPI melalui konstruksi dan gambaran dinilai berdasarkan rasa yang berkait erat dengan like and dislike bukan melihat dari kegunaan organisasi ini secara objektiv. Secara objectiv, FPI bisa menjadi penyeimbang kekuatan korup yang akan merongrong kekuasaan negara, terlepas dari segala macam aksi-aksi massanya yang dinilai kurang cakap dan jauh dari kesan elegan. Organisai seperti FPI, dalam asumsi saya, masih dibutuhkan untuk perbaikan negeri ini, hanya saja perlu dilakukan rekonstruksi image yang selama ini melekat dalam dirinya. FPI perlu mendefinisi ulang tentang image miringnya yang selama ini ditangkap oleh masyarakat.

Wallahu a’lam bisshawab

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun