Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

7 Muadzin Kumandangkan Adzan di Masjid Merah Cirebon

9 Mei 2016   06:30 Diperbarui: 9 Mei 2016   19:58 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Merah / Dokumen Pribadi

Setiap hari Jumat sudah menjadi kebiasaan ritual wajib bagi umat Islam untuk melaksanakan Sholat Jumat di Masjid. Saya kebetulan sedang berada di sebuah kota bersejarah, Cirebon. Kota yang disebut memiliki sejarah dengan hadirnya para Walisongo penyebar ajaran Islam di Pulau Jawa, termasuk Cirebon. Dalam sejarah Islam di Indonesia, Sunan Gunung Djati seringkali dikaitkan dengan sejarah berdirinya Kota Cirebon, yang dikenal dengan Kota Udang ini.

Selain memiliki keterikatan sejarah dengan Walisongo, Cirebon banyak memiliki kuliner unik dan cukup dikenal diantara para penyuka travelling yang biasa melewati atau singgah di Kota Udang ini, diantara kuliner khas yang terkenal diantaranya Nasi Jamblang, Empal Gentong, Tahu Gejrot, Docang, Nasi Lengko dan lain-lain.

Hari Jumat ini kebetulan saya berada di Kota Cirebon dan berkesempatan Sholat Jumat di masjid bersejarah, yaitu Masjid "Merah" atau masyarakat lebih mengenal dengan nama Masjid Sang Cipta Rasa yang lokasinya persis sebelah selatan Keraton Kesepuhan Cirebon. Masjid yang disinyalir dibangun oleh para Walisongo ini didirikan sejak abad ke-15.

Waktu belum menunjukkan pukul 12 siang, namun umat Islam di sekitar Masjid nampak berduyun-duyun hendak melaksanakan Shalat Jumat. Langkah kaki kaki saya-pun mengikuti mereka menuju Masjid yang bersejarah ini. Didalam Masjid, tampak terlihat kokoh kayu-kayu jati seukuran pelukan manusia menopang atap masjid.

Kayu jati ini masih tampak kuat, meskipun sudah ratusan tahun umurnya. Atap Masjid terlihat agak rendah, sehingga beberapa kayu jati yang melintang ditengah-tengah tiang penyangga semakin menambah kagum siapapun yang melihatnya. Kayu-kayu jati yang melintang diantara tiang Masjid, memiliki ukiran khas Cirebon dipadukan dengan ornamen piring-piring porselen asal China yang terlihat menempel di dinding merah bata Masjid.

Antara kayu-kayu jati yang melintang dengan atap mungkin hanya berjarak satu setengah meter lebih dari lantai, memperlihatkan bahwa Masid ini masih mempertahankan posisi aslinya.

Suasana Masjid / Dokumen Pribadi
Suasana Masjid / Dokumen Pribadi
Tak lama berselang, saya mendengar bunyi kentongan besautan dengan pukulan bedug menandakan waktu Dzuhur telah masuk dan sholat Jumat akan segera dimulai. Selepas bunyi bedug, saya agak terkejut karena kumandang adzan Sholat Jumat di masjid ini justru dilakukan secara bersama-sama oleh tujuh orang muaddzin.

Unik memang dan saya belum pernah melihat di masjid manapun di belahan dunia, mengumandangkan adzan Dzuhur Sholat Jumat dengan model "tujuh muaddzin" ini. Bagi saya, ini suatu kekayaan budaya Islam di Indonesia meskipun timbul pertanyaan di benak saya kemudian.

Selepas sholat Jumat, saya berkesempatan bertemu dan mengobrol sejenak dengan salah satu ulama Kota Cirebon, Kyai Sholihin. Beliau juga termasuk Ketua MUI Kota Cirebon sekaligus Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) di kota yang sama. Saya mencoba menanyakan soal kumandang adzan tujuh ini kepada beliau.

Dengan lancar beliau menjelaskan bahwa sejarah kumandang adzan tujuh pada waktu shalat Jumat berasal dari sejarah pada waktu Sunan Gunung Djati masih hidup. Menurut Kyai Sholihin, ada unsur mistis dalam rangkaian sejarahnya. Dulu, katanya, setiap orang yang memasuki masjid itu pasti akan sakit dan bahkan bisa meninggal dengan tidak wajar.

Kejadian ini berlalu bertahun-tahun, hingga akhirnya Sunan Gunung Djati memerintahkan agar adzan dilakukan bersamaan oleh tujuh orang setiap Sholat Jumat. Walhasil, adzan dengan tujuh orang ini kemudian mampu menghilangkan bencana itu. Memang sangat sulit diterima akal sehat, namun bagi saya, adzan memang tidak selalu berfungsi untuk panggilan sholat saja, tetapi bisa juga dipakai kumandangnya untuk doa penolak bencana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun