Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wabah Corona dan Polisentris Indonesia

23 Maret 2020   23:53 Diperbarui: 23 Maret 2020   23:47 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya justru memandang bahwa wabah virus yang saat ini melanda dunia, dan sedang menjalar juga di Indonesia, disikapi dengan sangat beragam bahkan dalam batas-batas tertentu "dualistik". 

Secara garis besar, mereka yang masuk dalam kategori "state-actors" tentu saja cenderung "strukturalis" seolah-olah apa yang telah menjadi suatu kebijakan negara itu secara ketat dan patuh harus diikuti dan terus menerus disebarkan kepada masyarakat. 

Kelompok ini---kebanyakan---tentu saja para birokrat, pendukung pemerintah, kelompok pragmatis, agamawan-politis, atau "akademisi-birokratis" yang entah kebetulan atau tidak merupakan golongan menengah-keatas yang memiliki kecemasan akut terhadap pandemik yang horor itu. 

Suara mereka tampak dominan di berbagai linimasa, bahkan tak tanggung-tanggung, tampak kontraproduktif jika dihadapkan kepada suatu pendewasaan yang lebih realistis dalam membangun kekuatan mentalitas masyarakat. 

Alih-alih membuat masyarakat "religius" seperti Indonesia ini menjalin kekuatan solidaritas yang kuat, malah mencerai-beraikannya, bahkan menghantam dengan pukulan pemecah es balok yang seketika memporak-porandakannya. Mereka lebih berfungsi sebagai pemecah batu es dari pada menjadi gergaji yang membelah sebagian demi sebagian, lalu dipisahkan sesuai dengan kebutuhan.

Diluar itu, ada kelompok "non-state actors" yang memang memiliki beragam latar belakang, baik agama, politik, maupun ekonomi. 

Kelompok ini tentu saja lebih memperlihatkan genre masyarakat menengah-kebawah, sebab mereka umumnya para agamawan-praktis, pemikir-idealis, akademisi-kritis, atau para pekerja biasa dalam sektor-sektor ril, atau masyarakat non-elitis yang tergabung dalam kelompok-kelompok tertentu yang "anti-politik". 

Anda bisa menyebut tipe-tipe kelompok yang lainnya yang mungkin saja bisa lebih banyak dari kategori yang telah saya sebutkan ini. Kelompok ini memiliki kecenderungan "fatalistik" dalam pengertian bahwa situasi negara yang tampak semrawut ini tak berpengaruh apapun bagi mereka sekalipun ada upaya-upaya tertentu dengan apa yang digenbar-gemborkan sebagai "jihad kemanusiaan": sebuah adagium indah yang menggabungkan antara bahasa agama dan politik sekaligus dan menunjukkan betapa istilah ini ingin diakui sebagai pernyataan religius dan dapat dipahami dalam ranah masyarakat religius pula. 

Saya menyebut "fatalistik" bukan berarti bahwa kecenderungannya benar-benar "pasrah dalam titik terendah", namun lebih kepada ingin membangun kepercayaan diri (self-confidence) yang lebih kuat dan mandiri terlepas dari berbagai "dikte politik" yang merantai seluruh bangunan pemikiran dan keyakinan, padahal setiap manusia punya hak untuk mengekspresikan pemikiran dan pendapatnya.

Pada tahap ini, tampak dualisme "kepentingan" atau lebih jauh "kekuasaan" antara dua kekuatan yang saling berseberangan. Kita tentu tak harus heran dengan kondisi seperti ini, sebab inilah sesungguhnya cara pandang manusia terhadap dunia: dualistik. 

Dalam sejarah Nusantara, kondisi ini telah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu dimana terdapat lusinan raja atau pangeran yang saling berperang sepanjang hampir dua abad. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun