Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Halalbihalal: Tradisi Lokal Sarat Nilai Moral

24 Juni 2019   11:11 Diperbarui: 24 Juni 2019   13:10 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Para ulama Nusantara tidak saja menggali makna maaf dari sisi nilai-nilai moral keagamaan yang diambil dari kitab suci, namun benar-benar mengaktualisasikannya kedalam suatu tradisi yang membudaya menyesuaikan dengan suasana batin masyarakat Indonesia. 

Sekalipun ada sekelompok umat Islam yang mempertanyakan tradisi halalbihalal ini, lalu ada yang menggantinya dengan istilah "liqa'u syawwal" (pertemuan di bulan Syawal), namun belum mampu menggeser kepopuleran tradisi halalbihalal sejauh ini. 

Bahkan, istilah "liqa'u syawwal" terkesan dipaksakan dan lebih bernuansa elitis dan parsial, kering dari pemaknaan secara universal tradisi saling memaafkan sebagaimana tercermin dalam tradisi halalbihalal.

Alquran secara tegas menyuruh agar manusia menjadi pribadi pemaaf yang aktualisasinya diikuti oleh anjuran-anjuran memelihara kebaikan yang disepakati bersama dan berpaling dari orang-orang bodoh yang justru tampak dari mereka yang gemar mengkritik atau mempersoalkan hal-hal yang sudah dianggap baik (ma'ruf) oleh masyarakat. 

"Jadilah pemaaf dan suruhlah orang-orang berbuat ma'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang bodoh" (QS. al-A'raaf: 199). Bahkan, dalam ayat lainnya disebutkan agar setiap orang yang hendak memulai berbuat baik, maka awalilah dengan menyembunyikan (kebaikannya) atau memaafkan kesalahan orang lain (QS. an-Nisaa: 149). 

Halalbihalal menjadi tradisi yang sarat nilai moral, digali dari ajaran-ajaran agama Islam dan dikontekstualisasikan dengan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia.

Kita sepatutnya memberikan apresiasi yang tinggi kepada para ulama, sebab merekalah sebenar-benarnya orang yang mewarisi ajaran-ajaran Nabi, melanggengkan kebaikan-kebaikannya, dan bagaimana menghidupkannya dalam suatu realitas sosial masyarakat yang beradab. 

Peradaban tentu saja tidak dapat berdiri sendiri, kecuali dirajut melalui resepsi atas nilai-nilai ajaran agama dan nilai-nilai sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

 Suatu peradaban yang baik akan tetap kuat dan tetap tinggal di atas bumi, sebab bumi hanya akan mewarisi kebaikan dan menolak segala macam keburukan, sebagaimana para ulama yang mewarisi ajaran-ajaran kebaikan para Nabinya, ia tetap "hidup" dan ajaran-ajarannya menyejarah dalam realitas sosial masyarakatnya.

Tradisi halalbihalal yang dalam KBBI didefinisikan menjadi "hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan" merupakan tradisi sarat moral yang bernilai luhur, digali dari ajaran-ajaran agama yang sejauh ini telah membentuk suatu peradaban yang khas masyarakat Nusantara. 

Tradisi lokal ini seolah mampu merekatkan kembali ikatan-ikatan solidaritas sosial yang tanpa harus dibatasi oleh keyakinan keagamannya masing-masing. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun