Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Halalbihalal: Tradisi Lokal Sarat Nilai Moral

24 Juni 2019   11:11 Diperbarui: 24 Juni 2019   13:10 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Diantara satu dari sekian tradisi yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang memiliki nilai historis-sosiologis adalah halalbihalal. Istilah ini telah divernakularisasikan ke dalam bahasa lokal dan diserap kedalam bahasa Indonesia, dimana hal maaf memaafkan tidak lagi bersifat seremonial tetapi melekat dalam benak masyarakat Nusantara sebagai nilai keagamaan sekaligus kebudayaan. 

Tradisi saling memaafkan dalam nuansa massal, hampir sulit ditemukan dalam budaya masyarakat manapun, terkecuali hanya di Indonesia. Wajar, jika kemudian halalbihalal identik dengan suasana humanis yang sedemikian kental, dibalut nilai-nilai moral-keagamaan yang memang telah terserap sedemikian kuat dalam batin masyarakat Nusantara.

Bangsa Indonesia identik dengan masyarakat agamis, bahkan suasana keagamaan tampak hidup dalam jalinan ikatan solidaritas lintas keyakinan dan keagamaan. Kearifan lokal yang senantiasa hidup, seolah membuktikan resepsi yang demikian cair diantara masyarakat Nusantara dengan nilai-nilai moral yang berasal dari ajaran-ajaran keagamaannya. 

Islam, yang telah lama menjadi bagian terpenting dalam realitas keagamaan masyarakat, nilai-nilai moralnya tampak berkesesuaian dengan kepribadian mereka. Betapa banyak tradisi dan kearifan lokal yang tetap hidup dalam masyarakat, tanpa dipertentangkan sama sekali dengan keyakinan agama yang mereka anut. Tradisi halalbihalal, menjadi bukti tradisi lokal yang hidup dalam suasana kesatuan dan persatuan.

Tradisi halalbihalal tentu saja memiliki nuansa khas lokal Indonesia yang digali dari nilai-nilai ajaran Islam, terutama makna "maaf" yang diambil dari kitab suci Alquran.

 Banyak catatan sejarah yang berhasil mengungkap, dimana tradisi ini dipopulerkan oleh kalangan ulama Nusantara yang tentu saja memahami suasana batin masyarakatnya. 

Bagi saya, halalbihalal tak sekadar tradisi seremonial tahunan yang digelar selepas Idul Fitri, namun lebih jauh, ia menjadi potret keberislaman dalam bingkai kultur kebangsaan yang begitu erat. Budaya saling memaafkan tidak saja mendarah daging dalam realitas kultur, namun juga aktualisasi dari nilai-nilai keagamaan yang luhur.

Bagaimana tidak, istilah "maaf" yang terambil dari akar kata bahasa Arab "'afw" memiliki derivasi makna yang luas baik secara teologis maupun sosiologis. Ketika Alquran memotret kepribadian Nabi Muhammad sebagai sosok penyayang dan lemah lembut karena hatinya ditanamkan rahmat Tuhan (fa bimaa rahmatin min allaha linta lahum), Nabi juga digambarkan memiliki kepribadian yang mulia, sebagai pemaaf sekaligus perantara secara teologis yang mendoakan setiap orang yang dimaafkan agar diampuni dosa-dosanya oleh Tuhan (fa'fu 'anhun wa as-taghfirlahum). Ternyata, maaf saja tidak cukup, sebab Alquran ketika menyebut kata "maaf" selalu dikaitkan dengan hal lainnya yang lebih bernilai historis-sosiologis.

Kata "maaf" yang terambil dari kata bahasa Arab "ma'fu" memiliki konotasi "seseorang telah terbebas dari segala akibat yang sebelumnya terikat dalam hukum-hukum kemanusiaan".

 Itulah sebabnya, kamus Lisanu al-'Arab mendefinisikan kata "'Afw" dengan "wa kullu man istahaqqa 'uquubah fa taraktaha fa qad 'afawta 'anhu" (segala hal yang sebelumnya memiliki akibat secara hukum kemudian dibebaskan, maka ia telah dimaafkan dan terlepas dari segala hukuman). 

Seseorang yang telah dimaafkan, ibarat angin yang menghapuskan debu yang melekat pada sesuatu. Debu merupakan "konsekuensi hukum" yang sebelumnya menempel dalam diri seseorang, lalu ia dibebaskan dari segala hal terkait hukuman yang melekat karena kesalahan dirinya.

Para ulama Nusantara tidak saja menggali makna maaf dari sisi nilai-nilai moral keagamaan yang diambil dari kitab suci, namun benar-benar mengaktualisasikannya kedalam suatu tradisi yang membudaya menyesuaikan dengan suasana batin masyarakat Indonesia. 

Sekalipun ada sekelompok umat Islam yang mempertanyakan tradisi halalbihalal ini, lalu ada yang menggantinya dengan istilah "liqa'u syawwal" (pertemuan di bulan Syawal), namun belum mampu menggeser kepopuleran tradisi halalbihalal sejauh ini. 

Bahkan, istilah "liqa'u syawwal" terkesan dipaksakan dan lebih bernuansa elitis dan parsial, kering dari pemaknaan secara universal tradisi saling memaafkan sebagaimana tercermin dalam tradisi halalbihalal.

Alquran secara tegas menyuruh agar manusia menjadi pribadi pemaaf yang aktualisasinya diikuti oleh anjuran-anjuran memelihara kebaikan yang disepakati bersama dan berpaling dari orang-orang bodoh yang justru tampak dari mereka yang gemar mengkritik atau mempersoalkan hal-hal yang sudah dianggap baik (ma'ruf) oleh masyarakat. 

"Jadilah pemaaf dan suruhlah orang-orang berbuat ma'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang bodoh" (QS. al-A'raaf: 199). Bahkan, dalam ayat lainnya disebutkan agar setiap orang yang hendak memulai berbuat baik, maka awalilah dengan menyembunyikan (kebaikannya) atau memaafkan kesalahan orang lain (QS. an-Nisaa: 149). 

Halalbihalal menjadi tradisi yang sarat nilai moral, digali dari ajaran-ajaran agama Islam dan dikontekstualisasikan dengan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia.

Kita sepatutnya memberikan apresiasi yang tinggi kepada para ulama, sebab merekalah sebenar-benarnya orang yang mewarisi ajaran-ajaran Nabi, melanggengkan kebaikan-kebaikannya, dan bagaimana menghidupkannya dalam suatu realitas sosial masyarakat yang beradab. 

Peradaban tentu saja tidak dapat berdiri sendiri, kecuali dirajut melalui resepsi atas nilai-nilai ajaran agama dan nilai-nilai sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

 Suatu peradaban yang baik akan tetap kuat dan tetap tinggal di atas bumi, sebab bumi hanya akan mewarisi kebaikan dan menolak segala macam keburukan, sebagaimana para ulama yang mewarisi ajaran-ajaran kebaikan para Nabinya, ia tetap "hidup" dan ajaran-ajarannya menyejarah dalam realitas sosial masyarakatnya.

Tradisi halalbihalal yang dalam KBBI didefinisikan menjadi "hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan" merupakan tradisi sarat moral yang bernilai luhur, digali dari ajaran-ajaran agama yang sejauh ini telah membentuk suatu peradaban yang khas masyarakat Nusantara. 

Tradisi lokal ini seolah mampu merekatkan kembali ikatan-ikatan solidaritas sosial yang tanpa harus dibatasi oleh keyakinan keagamannya masing-masing. 

Halalbihalal telah diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia sebagai suatu tradisi yang baik, membangkitkan semangat humanisme seraya melepaskan diri dari ikatan-ikatan primordialisme keagamaan yang kerap menciptakan jurang-jurang perbedaan kemanusiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun