Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Puasa dan Sedekah

15 Mei 2019   11:53 Diperbarui: 15 Mei 2019   11:57 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Suatu pemandangan yang mungkin sulit didapatkan di bulan-bulan lain selain Ramadan adalah sedekah. Semangat filantropis ini menguat seiring dengan ritual puasa yang dijalankan mayoritas umat Muslim, tak terkecuali di Indonesia. Budaya sedekah ini---khususnya di Indonesia---seolah terjadi musiman dan dipraktikkan sedemikian rupa oleh orang-orang yang berpuasa. 

Entah kenapa, puasa sepertinya memicu semangat filantropis yang luar biasa, entah apakah mereka menyadari bahwa di bulan puasa nilai sedekah dilipatgandakan pahalanya ataukah merasa bahwa beramal di bulan puasa merupakan tuntutan kesadaran etik untuk ikut berbagi meringankan beban pihak lain.

Memang, patut diakui, bahwa banyak riwayat-riwayat hadis yang membicarakan keterkaitan amaliyah---atau tepatnya sedekah---yang jika dilakukan di bulan Ramadan, terlebih yang bersedekah dalam keadaan puasa, memiliki nilai kebaikan berlipat ganda di mata Tuhan. "Sedekah yang paling utama adalah di bulan Ramadan", demikian teks salah satu hadis Nabi Muhammad. 

Bahkan dalam riwayat lain, keutamaan sedekah ini memiliki nilai pahala "tanpa batas" melebihi nilai sedekah di bulan-bulan manapun. Seperti salah satu hadis Nabi yang berasal dari Abu Hurairah, "Setiap amal kebajikan anak cucu Adam akan dilipatgandakan, satu kebaikan nilainya sama dengan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipatnya". Allah berfirman, "Kecuali puasa, ia milik-Ku dan Aku yang akan membalasnya, karena manusia menahan syahwat dan meninggalkan makan karena Aku".   

Dari pemahaman hadis diatas, para ulama menjelaskan bahwa setiap kebaikan apapun yang dilakukan disaat berpuasa, melampaui nilai pahala 700 kali lipatnya. Pendapat menarik berasal dari Imam al-Ghazali yang diabadikan dalam karya monumentalnya, "Ihya Ulumuddin". Ia menilai, setiap amal kebajikan yang dilakukan ketika puasa, pahalanya "tanpa batas" (bi ghairi hisaab). 

Argumentasinya dibangun berdasarkan salah satu ayat dalam Alquran, "Sesungguhnya hanya orang-orang yang sabar yang memperoleh pahala tanpa batas" (QS. Az-Zumar: 10). Puasa, kata Al-Ghazali, adalah "sebagian dari sabar", sehingga wajar jika setiap kebaikan yang dilakukan di saat puasa tidak ada batasan dan tidak ditentukan ukurannya, sama halnya dengan kesabaran.

Pemahaman yang begitu melekat soal nilai kebajikan apapun yang bernilai tanpa batas di bulan Ramadan, tentu saja membuat gairah filantropis meningkat. Namun, disadari maupun tidak, semangat sedekah di bulan puasa juga mendapat respon dari kaum dhu'afa dadakan dan pengemis musiman yang secara massif mendatangi sumber-sumber sedekah di kota-kota besar. Dari perspektif sosiologis, tentu saja hal ini menjadi masalah baru di perkotaan dan perlu ada solusi yang baik dalam menangani hal ini. Namun, dalam perspektif teologis, orang-orang yang berpuasa melirik mereka sebagai sumber kebaikan yang patut disantuni dan disedekahi, terlebih nilai kebaikan yang mereka lakukan jelas bernilai tanpa batas.

Saya kira, slogan "jangan memberi ikan tetapi berilah kail" yang kerap menjadi sindiran untuk tidak memberikan uang kepada pengemis atau peminta-minta di jalanan, sepertinya kontraproduktif dengan nilai-nilai teologis yang diyakini orang-orang yang berpuasa. 

Seharusnya, yang lebih penting justru bagaimana meruntuhkan mental pengemis dengan memperkuat diksi teologis, sebagaimana yang kita pahami dari sebuah hadis, "Tangan diatas lebih baik dari tangan di bawah". 

Dengan demikian, mental pengemis tentu saja lebih buruk, karena mereka selalu memposisikan "tangan dibawah" bukan "tangan diatas", sebagaimana metafora yang dilukiskan Nabi Muhammad.

Disisi lain, perlu juga ditegaskan, bahwa sedekah yang paling utama adalah diberikan kepada kerabat terdekat atau sanak saudara yang membutuhkan. Bukan kepada pihak lain yang belum dikenal, apalagi peminta-minta di jalanan. 

"Sedekah yang paling utama adalah kesungguhan dengan harta yang pas-pasan (juhd al-maqal), lalu mendahulukan kerabatnya untuk dibantu", demikian salah satu hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan Ibnu Hibban. Bahkan, dalam redaksi yang hampir serupa, Nabi menyatakan, "Sedekah yang paling utama adalah kepada mereka yang memiliki tali persaudaraan tetapi pernah terlepas karena permusuhan secara batin (Dzir Rahm al-Kaasyah)".

Tidak seharusnya kita mengkritik atau menghardik para pengemis di jalanan, karena dianggap hanya sebagai sampah masyarakat yang mengganggu keindahan tata kota. Berpuasa, tetap mengajarkan kebaikan kepada siapapun yang menjalankannya, untuk bersedekah dengan cara perkataan yang baik dan permohonan maaf jika memang tidak mampu bersedekah.

 Bersikap baik dan tidak menyakiti justru sedekah yang paling utama ketika kita tidak sanggup bersedekah. "Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun" (QS. Al-Baqarah: 263).

Ramadan memang bulan sedekah (syahr as-shadaqah), bahkan kadang-kadang sangat berlimpah dan tak jarang malah tampak berlebihan. Kesadaran sedekah timbul seketika di jalan-jalan, di lorong-lorong gang sempit, di masjid-masjid dan musala, yang hampir tidak pernah kita temukan di bulan-bulan lainnya. 

Tak hanya berlimpahnya makanan dan minuman yang disalurkan oleh orang-orang atau sekelompok orang yang bersedekah "musiman", kadang uang atau pakaian juga tak ketinggalan di sedekahkan demi mengejar nilai kebajikan yang berlipat ganda. Inilah bulan berkah dimana segala sesuatu terkait dengan praktik ritual puasa, berlimpah ruah di segala arah.

Sedekah yang paling utama memang terdapat di bulan Ramadan dan disaat kita berpuasa. Sekalipun kadang ada hal yang dilupakan, bahwa nilai sedekah mudah tergerus oleh sesuatu yang bersifat sepele, seperti menyebut-nyebutnya atau memberi sedekah seraya menyakiti perasaan orang yang kita sedekahi. "Janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian" (QS. Al-Baqarah: 264). Maka, sedekah harus mengandung keikhlasan (kemurnian) semata-mata karena memang mengharap kemurahan Tuhan, bukan karena kita merasa menjadi figur "tangan di atas" (mampu).

Penting juga untuk diperhatikan, bahwa dalam segala hal apapun yang berimplikasi kebajikan, konsistensi (istiqamah) dalam menjalankannya itu jauh lebih baik, sekalipun apa yang kita sedekahkan sangat kecil nilainya. Sebab, "amal kebajikan yang paling disukai Allah tentu saja yang terus-menerus (adwaamuha), sekalipun sedikit (wa in qall)" demikian ungkapan yang terekam dalam salah satu hadis. Puasa dan sedekah menjadi satu entitas yang tak dapat dipisahkan, sebab dalam puasa sendiri diajarkan kepedulian kepada pihak lain dan ikut merasakan lemahnya pihak lain. Sedekah tentu saja memberikan sesuatu yang kita sukai, bukan sesuatu yang tidak berharga dalam pandangan kita sendiri. Dahulukan kerabat terdekat yang serba kekurangan, bukan siapa saja yang kita temui di jalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun