Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

La Nyalla Effect atau Politik Ofensif?

14 Desember 2018   10:55 Diperbarui: 14 Desember 2018   11:16 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebuah pertanyaan sederhana, sejauh mana La Nyalla Matalliti berpengaruh terhadap elektabilitas Jokowi? Jawaban koalisi pendukung petahana jelas, bahwa La Nyalla effect cukup memberi amunisi baru bagi elektabilitas Jokowi saat ini. Namun disisi lain, mantan ketua umum PSSI ini justru dianggap benalu politik karena telah menyebarkan aura negatif di kubu koalisi Prabowo. 

Padahal, ia dulu pernah digadang-gadang Prabowo menjadi cagub di Jatim, namun gagal nyalon. Pertanyaan lainnya muncul, ada apa dengan La Nyalla? Setelah beberapa waktu berkunjung ke kediaman Ma'ruf Amin lalu ramai dengan pernyataan-pernyataannya "menantang" Prabowo?

Untuk segala hal yang terkait politik, mudah saja jawabannya: La Nyalla harus membuktikan bahwa dirinya serius mendukung Jokowi di Pilpres nanti, caranya dengan menggulirkan isu-isu panas kepolitikan yang ditujukan menjatuhkan kredibilitas lawan politiknya. Tak perlu heran dengan dunia politik, karena hampir tak ada kawan atau lawan abadi, karena nalar pragmatisme dapat mengubah begitu mudah seorang yang sebelumnya "lawan" menjadi "kawan" begitupun sebaliknya. 

Sebelum La Nyalla, politisi kawakan Yusril Ihza juga pernah menjadi lawan politik Jokowi, bahkan pakar hukum tatanegara ini paling vokal dalam mengkritik rezim seraya nyaman di kubu oposisi. Namun, alasan dirinya tak dianggap penting dalam oposisi, membuat ia harus memutuskan untuk tak lagi berkawan dan sekarang berbalik menjadi "lawan".    

Seorang elit politik nasional yang "pindah jurusan" tentu saja memiliki dampak secara politik, meskipun tak seluruhnya dapat dikaitkan dengan soal peningkatan elektabilitas kandidat yang didukungnya. Apakah kepindahan Yusril menjadi pendukung Jokowi atau La Nyalla yang tampak garang mendukung petahana berdampak elektoral, perlu dibuktikan terlebih dahulu. 

Bisa saja ini bentuk dari kekalutan kubu petahana yang dinilai mulai berpolitik secara "ofensif" sebagaimana ditegaskan oleh salah seorang pengamat politik. Saya kira, sikap berpolitik secara "ofensif" seringkali menjadi blunder, alih-alih dapat menaikkan sisi elektabilitas para calon kandidatnya.  

Gambaran nyata dari sikap berpolitik secara ofensif dapat dilihat pada diri seorang La Nyalla. Pernyataan-pernyataannya bagi saya cukup mengerikan---karena memang ofensif---ketika ia misalnya, siap dipotong leher demi bukti nyata sebuah dukungan politik. Bukan hanya janji ngeri soal ini, La Nyalla mengobral dosa politik di masa lalunya dan menyatakan diri bertobat karena dirinyalah yang ikut mendanai dan terlibat dalam penyebaran tabloid Obor Rakyat yang isinya "kampanye hitam" kepada Jokowi. 

Yang paling mengerikan sebenarnya ketika La Nyalla membawa ruang privasi agama ke ranah publik, dimana ia menantang capres Prabowo untuk menjadi imam salat, membaca al-Quran, untuk sekadar membuktikan bahwa Prabowo layak dipilih karena kualitas keagamaannya.

Sikap politik ofensif memang tak lagi menyoal ruang-ruang publik politik, tetapi lebih kepada sisi pribadi seorang kandidat politik. Maka tak heran, berbagai ungkapan yang menyerang sisi kepribadian setiap kontestan memang tampak jor-joran. Sulit rasanya untuk membangun sebuah kenyataan, bahwa kepemimpinan politik itu bersifat "kolektif-kolegial" yang tentu saja berkonotasi publik, bukan semata-mata privat. 

La Nyalla effect ini seakan terus bergulir membangun ruang-ruang privasi politik yang "dipublikasi" termasuk baru-baru ini muncul Sandiwara Uno effect setelah dirinya disebut melakukan "playing victim" saat safari politiknya di Sumatera Utara.

Semakin dekatnya ajang perhelatan politik nasional, rasa-rasanya pertarungan politik semakin tak masuk akal. Kubu politik pendukung petahana sepertinya semakin kepepet, lalu memanfaatkan beberapa politisi yang "pindah jurusan" seolah "dipaksa" melakukan pertobatan politik. Mungkin tak berlebihan jika Kapitra, Yusril, dan La Nyalla seperti mewakili kelompok-kelompok kepentingan yang sebelumnya berseberangan kini justru tampak beriringan. Kapitra "mewakili" kelompok 212, Yusril bagian dari kelompok politisi, dan La Nyalla disebut mewakili pengusaha.

Ajang perebutan kekuasaan kali ini tak lebih sekadar "carmuk" yang dilakukan oleh banyak kekuatan politik masing-masing pendukungnya. Anehnya, kontestasi politik yang tidak rasional dan substansial ini justru malah "dirasionalisasi" bahkan dijadikan rujukan-rujukan bagi pilihan politik masyarakat. 

Betapa masyarakat sangat meyakini, misalnya, capres nomor urut 01 itu adalah figur yang mengkriminalisasi ulama, sekalipun cawapresnya adalah seorang ulama. Lalu, kandidat capres nomor urut 02 disebut hanya mualaf dimana soal tata cara berwudu dan salat saja belum tepat, tetapi dianggap pemimpin pilihan ulama dan tak tanggung-tanggung cawapresnya bahkan digelari sebagai ulama. Lalu, dimana subtansi politiknya?

Sungguh sangat mengharukan jika semangat pergantian kekuasaan ini sebatas ajang "carmuk" para simpatisan yang ingin mendapatkan pembagian kue kekuasaan. La Nyalla effect hanyalah contoh kecil betapa semakin tidak rasionalnya politik, bahkan benar-benar telah meminggirkan seluruh artifisialnya seraya menanggalkan nilai-nilai substansialnya. 

Sederet ungkapan, seperti janji potong leher, pertobatan, tantangan salat, dan semacamnya telah "memperkosa" politik secara artifisial, menjauhkan dari ruang-ruang publik dan membuka ruang-ruang privat untuk dikritisi dan diperbincangkan. Anehnya, isu-isu "privat" yang telah usang justru diangkat kembali, bahkan soal perda syariah dan poligami diungkit menjadi ajang politik ofensif dan "carmuk" para politisi.

Ada benarnya saya kira ketika Rico Marbun menilai bahwa ada semacam ketidakmampuan dari kubu petahana dalam penguasaan medan politik kampanye saat ini. Penggunaan politik ofensif secara nyata, lalu "memaksa" para politisi yang "pindah jurusan" untuk mengobarkan semangat politik, bahkan para politisi "carmuk" tampak semakin banyak menghiasi kolom-kolom media massa sepertinya memang tak hanya kehilangan kemampuan, tetapi memang benar-benar kesulitan bahkan jurus "kepepet" seolah terpaksa dimanfaatkan. 

Padahal, berpolitik defensif saya kira lebih menghadirkan wajah kepiawaian berpolitik, bahkan mungkin mampu menciptakan "style" politik yang adiluhung, qualified, bahkan bermartabat.

Namun saya kira, jika kubu petahana masih terus memainkan model politik "ofensif" dan membiarkan bola liar panas menggulir bersama La Nyalla effect, lalu tak jeli dengan semakin banyaknya para politisi "carmuk" yang sekadar ingin jatah kekuasaan, barangkali sulit untuk memenangkan ajang kontestasi. Sekali-kali buatlah kejutan suatu kebijakan yang bernilai populis, jangan sekadar yang berbau politis, dimana kebijakan tersebut diterima semua pihak dan mampu "mendamaikan" banyak pihak. 

Disisi lain, kubu oposisi memang tampak "defensif" walaupun seringkali tampak nyinyir dan berpolitik pandir. Bolehlah "carmuk" asal terukur dan rasional, boleh juga nyinyir asal satir dalam berpikir karena disitulah politik itu hadir sebagai ajang kontestasi bergilir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun