Saya sebenarnya bertanya-tanya soal pemberitaan mengenai pencekalan Fahri Hamzah berceramah di masjid. Padahal, sebagai seorang muslim yang taat, Fahri tentu saja mempunyai kapasitas sebagai seorang penceramah walaupun tak masuk dalam daftar 200 mubalig versi Kemenag.Â
Terlepas dari gayanya yang khas, kontroversial dan kadang-kadang nggemesin, Fahri tetaplah simbol wakil rakyat, sekaligus simbol negara karena posisinya sebagai anggota DPR. Bagi saya, Indonesia akan sepi tanpa Fahri, karena dari setiap pernyataan dirinyalah semua mata masyarakat terbuka, paling tidak diingatkan agar tak terlena dengan "kebaikan" para pemegang kekuasaan.
Fahri beberapa waktu lalu dicoret dari daftar penceramah kultum salat tarawih oleh pihak kampus UGM dengan alasan menghindari pro-kontra ditengah masyarakat. Padahal, kampus umumnya adalah ruang paling bijak bahkan panggung paling "bebas" dalam menyuarakan aspirasi apapun, termasuk mengekspresikan sikap keagamaan walaupun terkadang "liberal". Jika tiba-tiba Fahri ditolak dengan alasan dapat mengganggu kondusivitas, ini jelas sangat berlebihan.Â
Masjid tentu saja ruang pengikat solidaritas keumatan yang pasti menjauhi hal kontroversial apalagi menciptakan konflik, terlebih ceramah yang dilakukan di bulan Ramadan yang pasti terjaga kondusivitasnya.
Akan sangat tidak mungkin, seorang Fahri Hamzah membuat pernyataan yang merugikan, menohok, atau menghina pihak lain dari dalam masjid terlebih ini masjid internal kampus.Â
Diakui maupun tidak, ada pihak-pihak yang merasa terintimidasi oleh orang-orang kritis seperti Fahri, sehingga mencoba memanfaatkan kekuasaannya untuk "mempuasakan" Fahri dari ceramah kultum tarawih. Jika tidak, mungkin ini sebagai bentuk reaksi berlebihan terhadap Islam, terutama muslim yang giat melakukan kritik terhadap pemerintah. Entah kenapa, pasca aksi teror yang menggegerkan, muncul fobia berlebihan yang dialamatkan pada setiap umat muslim yang kritis.
Buntut aksi terorisme bahkan mempertontonkan sikap reaktif aparat yang kadang berlebihan dan tak masuk akal. Pernah ada video viral yang mempertontonkan seorang santri diperiksa aparat di pinggir jalan, seraya diperintahkan membuka seluruh barang bawaannya.Â
Saya kira, hal ini tak bisa dianggap sebagai sebuah candaan. Santri dengan pakaian muslim dan atribut keislaman lain yang melekat, seakan menjadi sosok yang patut diwaspadai, dicurigai, dan bila perlu diinterogasi karena jangan-jangan mereka dengan penampilan seperti itu bisa saja terindikasi terorisme. Pasca aksi terorisme, Islam semakin didiskreditkan, diawasi, dan dicurigai karena dianggap sebagai agama yang menyebar teror kepada orang lain.
Tak hanya itu, pemandangan tak biasa sepertinya tampak di seluruh kantor polisi. Selain pengamanan diperketat, setiap pengunjung tidak ada yang boleh mengurus keperluannya melewati pintu gerbang utama, tetapi dialihkan memutar melalui gerbang lainnya yang tersedia.Â
Lalu, sampai kapan ekspresi berlebihan ini berakhir? Setelah seluruh penjahat teroris itu ditangkap? Atau setelah lega salah satu gembong ditakuti Aman Abdurrahman akan segera dieksekusi mati? Saya kira, sikap berlebihan dalam hal apapun, tidak hanya merusak dan merugikan diri sendiri, tetapi justru berdampak menjadikan nuansa teror baru dan mencekam bagi orang lain. Bukankah kita tidak takut pada terorisme?
Jadi, apakah pencekalan Fahri ada kaitannya dengan masalah terorisme? Mungkin saja iya, karena siapa yang paling sering melontarkan kritik tajam kepada penguasa selain Fahri? Padahak, dalam suatu sistem yang demokratis, kritik atau penilaian semiring apapun terhadap penguasa---karena adanya indikasi kekeliruan---adalah hal yang sangat wajar, bahkan justru diperlukan.Â