Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kesturi Ramadan dan Politik Bau Tengik

11 Mei 2018   10:05 Diperbarui: 11 Mei 2018   10:23 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah petugas berjaga di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat, Rabu (9/5/2018). Beredar kabar telah terjadi keributan di dalam Rutan Mako Brimob, informasi yang didapat menyebutkan terdapat anggota brimob yang disandera dan senjata api mereka yang dirampas.(MAULANA MAHARDHIKA --kompas.com)

Bukan suatu kebetulan dimana dihampir setiap tahunnya, momen kedatangan bulan Ramadan selalu dimaknai jauh-jauh hari sebagai bulan yang mereguk banyak keuntungan. Tidak hanya bagi para pebisnis musiman, media elektronik, bahkan keuntungan berupa pahala yang akan diperoleh oleh mereka yang menjalankan puasanya secara ikhlas. 

Harum suasana Ramadan bahkan telah tercium, jauh sebelum kewajiban berpuasa bagi umat muslim ini dimulai. Disisi lain, momentum Ramadan kali ini, barangkali tak seharum kesturi aromanya, karena bisa saja tercampur oleh bau tengiknya politik dimana masjid-masjid ditengah sesaknya para jamaah akan menjadi panggung dukung-mendukung jelang kontestasi politik nasional.

Akan terasa sangat berbeda, ketika Nabi Muhammad pernah berdoa: "Allahumma baariklanaa fii rajaba wa sya'bana wa ballighnaa romadloona" (Ya Allah, berkahilah bulan Rajab dan Sya'ban, dan antarkanlah kami sampai ke bulan Ramadan). Doa ini seharusnya mengingatkan kepada setiap umat muslim, menyambut kedatangan bulan Ramadan dengan menciptakan relasi-relasi keumatan dengan memperkuat ikatan-ikatan solidaritas sosial antarsesama manusia, bukan malah mencerai-beraikannya. Politik bau tengik jelang pilpres hanya menebarkan aroma kebusukan yang saling serang antarpendukung, bahkan muncul kemudian polemik soal larangan bicara politik di masjid yang kadang salah kaprah.

Politik bau tengik tidak saja dipertontonkan dengan mengumbar segala kesalahan lawan politik, berebut pengaruh panggung kekuasaan, dan bahkan pembunuhan yang dijalankan oleh para tahanan teroris di Mako Brimbob yang jauh dari nalar sehat agama dan kemanusiaan. 

Bagaimana tidak, efek kasus pembantaian yang dilakukan para napi teroris terhadap aparat, telah menjadi isu politis akibat kurang terangnya pengungkapan detil kasus ini, hingga menjadi liar ditengah publik. Harum kesturi Ramadan, tentu saja tercemar bau amis darah dan politisasi bau tengik yang mungkin saja terus dimanfaatkan demi keuntungan-keuntungan politik jelang pilpres mendatang.

Saya justru khawatir, bulan Ramadan kali ini akan terasa sangat jauh berbeda dengan Ramadan tahun-tahun sebelumnya, karena beragam peristiwa politik yang mengitarinya. Isu soal politisasi masjid juga mulai terasa kuat dan justru menjadi polemik ditengah masyarakat. Padahal, bicara politik dan "politisasi" tentu saja dua hal yang berkonotasi berbeda. 

Saya sepakat, bahwa masjid bukanlah ajang politisasi dalam hal mengumbar kebencian, aksi dukung-mendukung, saling mendiskreditkan kelompok atau orang-orang yang berseberangan ideologi politiknya. Namun, saya juga menyayangkan ketika berbicara politik di masjid justru dilarang penguasa. 

Bagi saya, politik dalam bingkai besar negara-bangsa adalah memperteguh model keumatan, lepas dari ikatan-ikatan primordialisme agama, keyakinan, bahkan kelompok, menuju persatuan dan kesatuan umat melalui penyadaran politik: melawan kesewenang-wenangan, memerangi kemiskinan dan kebodohan.

Masjid tentu saja tak boleh dikotori oleh aksi politisasi yang sengaja "menunggangi" masjid untuk menggalang dukungan politik seraya menebarkan ungkapan kebencian atau bahkan fitnah kepada lawan politik. Fungsi masjid harus dikembalikan sebagai sarana mempersatukan umat dalam bingkai besar negara-bangsa, menjadi sentralisasi pemberdayaan masyarakat dalam seluruh aspek. 

Jangan melarang bicara politik karena nilai substansi politik adalah kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Saya kira, momentum Ramadan dapat dimanfaatkan sebagai ajang silaturrahim nasional, dimana mengaktualisasikan nilai-nilai substansi politik harus dikedepankan dibanding "politisasi" yang sekadar menghilangkan dahaga kekuasaan.

Saat ini yang terjadi malah terkesan "pukul rata", apa saja yang terkait politik lalu dilarang dan bahkan diintervensi oleh aparat, ketika hal itu diungkapkan di masjid. Saya pernah mengikuti kajian jihad yang dibahas dalam kitab "Fiqhussunnah" karya Sayid Sabiq, dimana kajian soal itu telah disampaikan dari tahun ke tahun dan tanpa masalah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun