Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nalar Syariah dan Gugatan "Qanun Jinayah" Aceh

24 Oktober 2017   14:24 Diperbarui: 24 Oktober 2017   14:36 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Gugatan soal Qonun Jinayah diungkapkan oleh Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati yang menganggap terjadi pelanggaran HAM dan sarat diskrimasi terhadap perempuan. Argumentasi Asfinawati tentu saja bersifat normatif karena merujuk pada sisi universalitas HAM, sehingga penetapan atau eksekusi hukuman pidana berdasarkan agama semestinya tidak berlaku pada komunitas publik secara umum, melainkan kepada kelompok agama yang bersangkutan. 

Padahal, syariat adalah terminologi bahasa Arab yang tidak berlaku hanya untuk kalangan seagama saja, tetapi merupakan bentuk perjalanan tradisi kemanusiaan yang melingkupi berbagai kenyataan kesepakatan bersama dalam hal mencegah, menolak, mewajibkan atau bahkan menghukum seseorang yang melanggar aturan-aturan yang telah disepakati sebelumnya.

Walaupun tentunya, Aceh sebagai bagian dari Indonesia, memang lebih baik ikut dalam kesepakatan bersama dalam negara hukum NKRI yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945. Karena bagaimanapun, "syariat" Indonesia sudah disepakati bersama oleh para founding fathers kita sejak masa-masa kemerdekaan. Kesepakatan dalam membentuk komunitas kebangsaan dan keindonesiaan, tentu berdasarkan pemikiran yang panjang dan menggali dari nilai-nilai luhur kepribadian bangsa. 

Sebuah "kebaikan" yang telah disepakati secara bersama inilah yang direfleksikan oleh Nabi Ibrahim sebagai "millah al-kubro" yang sarat nilai-nilai keadilan (al-hanifiyyah) dan memiliki kecenderungan kebenaran atas dasar penerimaan bersama (taqaabalas-shodwahwal il-tadlodd). Bukankah kemudian Nabi Muhammad mengikuti millah Ibrahim? Ini karena Nabi Ibrahim menanamkan nilai-nilai keadilan dan kebersamaan yang kemudian menjelma menjadi bentuk hukum yang mengatur prilaku kemanusiaan.

Saya kira, membaca syariat Islam memang harus diselaraskan dengan nalar kemanusiaan, baik dalam konteks sejarah, nilai-nilai yang hidup dalam sebuah masyarakat dan kesepakatan bersama untuk membuat sebuah komunitas. Pembacaan syariat jangan melulu dikaitkan dengan aspek-aspek hukum Islam yang seringkali dipandang kaku oleh sebagian orang, karena syariat tentu saja berkait dengan banyak hal, terkait dengan sejarah pembentukan komunitas manusia itu sendiri. 

Kita tidak perlu juga merasa alergi terhadap terminologi syariat, yang seakan-akan sebuah konsep yang bertentangan dengan hukum-hukum positif yang sejauh ini telah menjadi kesepakatan bersama. Qanun Jinayat Aceh jelas terkait dengan sebuah "kesepakatan bersama" masyarakat Aceh, bukan sebuah aturan yang dibuat karena ingin memisahkan diri dari sebuah komunitas yang lebih besar. Perlu diingatkan, syariat jelas tidak untuk kalangan agama tertentu saja, tetapi mencakup komunitas lain karena sudah dibuat dan disetujui berdasarkan kesepakatan bersama.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun