Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agama Gembira

9 Juli 2017   11:36 Diperbarui: 9 Juli 2017   11:55 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Salah satu dari tujuan utama agama sesungguhnya adalah menggembirakan atau membahagiakan, baik untuk diri sendiri dan juga orang lain. Bahkan, para sosiolog agama memberikan gambaran secara tepat, bahwa agama bisa menjadi perekat solidaritas sosial. Agama dapat memberikan rasa damai dan tentram ketika seseorang berada dalam kondisi kegelisahan, pun dalam kondisi dirinya sedang dilanda kekacauan hati atau pikiran, ia dapat menentramkan sekaligus mengembalikan kondisi jiwanya menjadi lebih tenang. Kegembiraan yang kemudian didapatkan dari nilai-nilai agama yang dianut seseorang, bukanlah nilai semu, tetapi nilai sesungguhnya yang dapat mengubah secara lebih baik seluruh pranata kehidupan dalam diri seseorang penganut agama.

Sebelum datangnya agama, masyarakat terlebih dahulu menganut nilai-nilai pandangan hidup yang membudaya dan mentradisi dalam seluruh lingkup sosialita-nya. Nilai-nilai budaya yang tidak sesuai dengan cara pandang kebaikan kemanusiaan, kemudian diperbaiki dan disempurnakan secara lebih arif oleh agama. Menghargai dan menghormati tradisi atau kearifan lokal, berarti sama dengan beragama, karena prinsip beragama selalu dikaitkan dengan penerimaan atas nilai-nilai tradisi dan budaya yang telah lebih dulu berkembang di tengah masyarakat. Keberadaan agama yang kemudian diterima oleh sisi kemanusiaan, lebih didorong oleh prinsip ajaran agama yang menggembirakan yang meresap kedalam setiap hati individu para penganutnya. Agama-agama Samawi, seperti Yahudi, Nasrani dan Islam dibawa dan disebarkan oleh orang-orang "terpilih" dapat mudah diterima masyarakat karena selalu membawa berita gembira untuk manusia.

Para penyebar agama yang disebut sebagai Nabi atau Rasul, sebagaimana disebutkan dalam kitab suci al-Quran adalah mereka yang diutus Tuhan untuk memberikan kabar gembira kepada umat manusia. "Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati" (QS. Al-An'am: 48). Prinsip agama yang membawa kegembiraan seharusnya menjadi tema utama dalam segala hal yang dilakukan umat beragama, mereka harus bergembira dan menggembirakan orang lain , karena setelah mempunyai keyakinan kepada agama, harus diiringi dengan perbaikan dalam segala hal karena dengan "perbaikan" kegembiraan yang sesungguhnya akan benar-benar terwujud.

Agama bukanlah "candu sosial" sebagaimana pernah diungkapkan oleh Karl Marx. Kegelisahan Marx melihat realitas sosial yang cenderung "menyerah" dan rela diperbudak oleh sistem kapitalistik, mendorong dirinya melecut masyarakat agar tak dininabobokan oleh agama, tetapi berjuang bersama melawan sistem kapitalistik yang telah mengkotak-kotakan manusia dalam kelas-kelas sosial. Argumen Marx ini secara tidak langsung dibantah oleh Max Weber beberapa tahun kemudian dengan menyatakan justru agama dapat mendorong semangat seseorang menjadi kapitalis, menguasai dan menggerakkan roda perekonomian dunia. Agama dalam pandangan Weber berarti menjadi "semangat" yang menggembirakan setiap orang meraih segala keinginan duniawinya, baik kehormatan, harta, kedudukan atau apapun yang memposisikan dirinya dihargai secara sosial.

Dalam ajaran Islam, agama jelas menggembirakan, tidak hanya untuk dirinya terlebih kepada orang lain. Bersikap dermawan kepada sesama, menolong orang lain, toleransi, menghormati dan saling menumbuhkan rasa kasih-sayang diantara manusia adalah hal-hal penting yang ada dalam ajaran agama. Sikap dermawan berarti menyenangkan dan membuat gembira orang lain yang membutuhkan, selain kita juga mendapatkan kepuasan yang tak dapat diukur oleh nilai materi apapun. Menolong orang lain, misalnya dengan membuang duri atau rintangan yang berada di jalan jelas membahagiakan orang lain, karena jalan yang dilewati pasti terasa aman. Apalagi bertoleransi, menghormati sesama dengan saling menghargai dan menjalin hubungan kemanusiaan, pasti membahagiakan dan menggembirakan kedua belah pihak.

Salah satu prinsip beragama yang selalu ditekankan Rasulullah terdapat pada dua prinsip utama, yaitu menggembirakan orang lain (bassyiruu) dan tidak membuat orang takut (wa laa tunaffiru) dan memberikan kemudahan (yassiruu) dengan tidak menjadikan orang lain kesulitan dalam menjalankan keberagamaan mereka (wa laa tu'assiruu). Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan demikian selalu berwajah gembira, menyenangkan, tidak membuat orang lain takut atau menghindar, tetapi justru lebih mendekatkan orang, menghargai orang lain dan menciptakan ruang-ruang solidaritas yang melekatkan hubungan-hubungan sosial. Dengan demikian, tepat rasanya jika seorang muslim selalu menggembirakan orang lain dan Islam menjadi agama "gembira" di tengah era milenial yang seringkali kurang menggembirakan.

Kegembiraan dalam beragama justru belakangan semakin terkikis, dikalahkan oleh ambisi pribadi yang mudah sekali tersinggung, marah-marah, berprasangka buruk yang justru tidak hanya membuat sulit dan sedih kepada diri sendiri, tetapi justru membuat pihak lain tidak bisa bergembira, atau membuat mereka bersedih tidak bisa digembirakan oleh agamanya sendiri. Sebagai seorang muslim, tentu saja saya merasakan hal yang kurang lebih sama, sulit sekali mendapatkan kegembiraan beragama, karena setiap kali ingin mengungkapkan kegembiraan, selalu saja ada hal-hal lain yang pada akhirnya sulit sekali mengungkapkan kegembiraan tersebut. Padahal saya yakin, janji Allah dalam al-Quran, bahwa "Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan"(QS. Al-Hajj: 48). Jika merasa beragama lalu menjadi serasa sempit dalam menjalani hidup dan membuat orang lain bertambah sempit dalam hidup, bukankah sama dengan melanggar prinsip-prinsip agama?

Prinsip agama secara universal yang membuat orang lain atau pihak lain merasa gembira justru adalah praktek keberagamaan yang benar-benar dijalankan oleh mereka yang beriman. Bagaimana tidak, seseorang yang dianggap beriman pasti akan mendapatkan kegembiraan dan keberuntungan sebagaimana yang Allah sebutkan secara tegas dalam al-Quran. "Sungguh beruntungorang-orang yang beriman. (Yaitu) orang yang khusyu'dalam shalatnya. Dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna" (QS. Al-Mukminun: 1-3). Disinilah barangkali fungsi kegembiraan utama dari seseorang yang beragama yang selalu menjalankan ajaran agamanya penuh kekhusukan dan cenderung menghindari perbuatan atau perkataan yang tidak bermanfaat bagi diri dan lingkungannya. Merekalah orang-orang "terpilih" yang merasa gembira dan mampu memberikan kegembiraan kepada orang lain, memberikan kemudahan kepada yang lain dalam keyakinan kegembiraan agama yang selama ini mereka jalani. Bergembiralah, karena agama selalu membawa kepada kegembiraan dan kedamaian! Wallahu a'lam bisshawab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun