Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kurban dan Tradisi Filantropi Islam

6 September 2016   11:01 Diperbarui: 7 September 2016   11:36 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Suara-islam.com

Salah satu hal yang menarik dari realitas sosial di Indonesia adalah bahwa para pebisnis musiman menjelang dua hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha, menggelar dagangan khas mereka di sepanjang jalan. Momen Idul Adha yang sebentar lagi hadir kemudian banyak dimanfaatkan oleh pedagang musiman untuk menjajakan hewan-hewan kurban, baik sapi ataupun kambing yang diperuntukkan bagi mereka yang mampu untuk berkurban.

Naiknya harga hewan kurban yang selalu melonjak setiap tahun tidak serta merta menyurutkan niat masyarakat Muslim Indonesia untuk memenuhi keinginannya, berkurban dengan semangat keimanan kepada Tuhan sekaligus memperkuat ikatan solidaritas keislaman mereka. Sesuai tradisi Islam, daging hewan kurban akan dibagikan secara merata, tidak hanya kepada mereka yang membutuhkan sehingga secara tidak langsung, kebiasaan berkurban akan membentuk ikatan-ikatan solidaritas sosial di antara mereka.

Idul Adha, atau dalam pengertian bebas berarti “hari raya penyembelihan” secara historis telah ada dan menjadi tradisi bangsa Arab pra Islam. Idul Adha yang diselenggarakan setiap tanggal 10 di bulan Dzulhijjah dengan tradisi menyembelih hewan ternak, baik sapi, kambing ataupun unta, berasal dari cerita awal Nabi Ibrahim as tatkala diperintah Tuhan untuk menyembelih putra kesayangannya, Ismail as.

Ketaatan dan keikhlasan kepada Tuhan yang dijalankan Ibrahim bak gayung bersambut karena dengan ikhlas, Ismail pun rela menjalankan perintah Tuhan untuk “disembelih” dan dijadikan kurban oleh Ibrahim. Atas kekuatan “ikatan” keikhlasan dan ketaatan antara keduanya, kemudian Tuhan memberikan ganti berupa seekor kambing yang disembelih oleh Ibrahim sebagai bentuk ketaatan dan keikhlasan terhadap perintah Tuhan.

Tradisi penyembelihan hewan kurban ini kemudian mengalami pasang surut, karena terpengaruh oleh kondisi tingkat kepercayaan masyarakat Arab waktu itu. Dalam tradisi bangsa Arab, bulan Dzulhijjah dianggap sebagai bulan yang masuk dalam kategori “bulan-bulan haram” (asyhurul hurum) di mana mereka bersepakat untuk tidak melakukan peperangan atau kekerasan pada bulan tersebut. Terdapat empat bulan yang dianggap “suci” oleh tradisi bangsa Arab, yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.

Khusus untuk bulan Dzulhijjah, di dalamnya terdapat tradisi penyembelihan hewan kurban dan kebiasaan mengunjungi Ka’bah sebagai simbol dari persatuan dan persaudaraan antarkabilah dan suku bangsa Arab. Setiap bulan Dzulhijjah, seluruh bangsa Arab akan berkumpul di Mekkah untuk melakukan penyembelihan hewan kurban untuk dimakan bersama keluarga mereka dan dibagi-bagikan kepada kabilah lain sekaligus memperkuat solidaritas sosial-politik mereka dengan melakukan ziarah ke Mekkah.


Islam yang kemudian hadir ditengah-tengah bangsa Arab yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw kemudian mengadopsi tradisi-tradisi ini dan dijadikan sebagai perekat solidaritas sesama Muslim sebagai bentuk “tradisi baik” yang dilegitimasi oleh semangat keagamaan. Ini artinya bahwa Islam sejak dahulu selalu bersikap akomodatif terhadap seluruh aspek kebudayaan, tradisi, nilai-nilai yang “dianggap baik” dalam masyarakat dan senantiasa selalu dijalankan bahkan hingga saat ini.

Oleh karena itu, penyebutan bulan dengan nama “Dzulhijjah” juga bernuansa politis karena mengandung pengertian “bulan pertemuan” atau “bulan kunjungan”. Khusus di bulan inilah seluruh bangsa Arab bertemu di satu titik, yaitu Mekkah, untuk sama-sama mengunjungi Ka’bah dengan jaminan kondisi lebih aman karena dilarang melakukan peperangan dan kekerasan. Nabi Muhammad saw kemudian mempertegas Dzulhijjah sebagai bulan yang dikhususkan sebagai bulan Haji dan bagi Muslim yang tidak dapat berhaji hendaknya melakukan penyembelihan hewan kurban, memakannya bersama keluarga dan membagi-bagikan kepada orang lain.

Tradisi berkurban di hari Idul Adha yang sudah melekat dalam tradisi Arab pra Islam memberikan sebuah pelajaran tentang bagaimana setiap orang untuk terbiasa berbagi dengan orang lain (filantropi). Semangat filantropi yang diajarkan oleh Islam semakin diperkuat oleh legitimasi kitab suci al-Quran dengan memberikan kesadaran kepada manusia bahwa mereka sudah diberikan berbagai macam kenikmatan yang sangat banyak oleh Tuhan, sehingga bentuk kepedulian dengan berbagi dengan sesama adalah semata-mata pengorbanan atas nikmat-nikmat Tuhan yang senantiasa mereka terima sepanjang hidup.

Sehingga, memahami filosofi kurban terletak pada upaya manusia dalam mengapresiasi rasa syukur kepada Tuhan yang membedakannya kemudian dari “kurban paganis” yang di masa pra Islam dilakukan sebagai persembahan kepada dewa-dewa yang mereka yakini dapat memberikan keselamatan dan kesejahteraan terhadap mereka.

Sebenarnya, sikap filantropi yang dibangun oleh ajaran Islam tercermin dari dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Keduanya memiliki ajaran filantropis dimana manusia dituntut untuk selalu disadarkan agar dapat saling berbagi, tidak hanya dengan sesama Muslim, tetapi dengan sesama umat manusia lainnya. Jika bentuk filantropi saat Idul Fitri adalah fenomena kesadaran berzakat, maka pada Idul Adha, cermin filantropi Islam ditunjukkan melalui kebiasaan berkurban untuk berbagi bersama masyarakat.

Bahkan pada Idul Adha, waktu pelaksanaannya tidak hanya satu hari seperti Idul Fitri, tetapi dilakukan empat hari, yaitu mulai tanggal 10-13 di bulan Dzulhijjah. Karena waktunya yang lebih panjang, Idul Adha dalam tradisi Jawa disebut dengan “Rayagung” atau “Hari Raya Besar” sehingga kesadaran sikap filantropis yang diajarkan tentu akan semakin membekas pada setiap pribadi Muslim.

Di era kekinian, sikap filantropis yang ditunjukkan oleh umat Muslim di Indonesia memang cenderung meningkat, jika melihat kepada data statistik peningkatan jumlah Muslim yang berzakat atau berkurban. Rilis dari beberapa media disebutkan, ditengah melonjaknya harga hewan kurban yang rata-rata 10-15 persen justru tidak berdampak pada penurunan jumlah umat Muslim yang berkurban. Rata-rata laporan dari beragam lembaga sosial yang bergerak di bidang filantropi, seperti lembaga pengelola zakat atau sejenisnya memperlihatkan jumlah penerimaan uang yang diterima sebagai bentuk pembelian hewan kurban mengalami peningkatan.

Perkembangan teknologi memang sedikit banyak telah menggeser metode berkurban menjadi lebih mudah dan instan, yang dulunya harus dibeli sendiri, disembelih sendiri dan dibagikan sendiri, saat ini cukup memberikan kepercayaan kepada lembaga sosial penyalur hewan kurban dengan cara mentransfer sejumlah uang sesuai dengan harga hewan kurban yang telah disepakati. 

Walau demikian, ditengah era kekinian yang serba instan ini, hendaknya tidak juga menggeser nilai-nilai keagamaan yang terdapat pada entitas kurban itu sendiri. Kurban berangkat dari semangat iman untuk membentuk tradisi filantropi untuk berbagi dengan sesama, bukan sekedar ajang pamer kedermawanan, apalagi jika membeli kurban dengan uang hasil korupsi, jelas itu sebuah kebohongan dalam beragama.

Wallahu a’lam bisshawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun