Orang Indonesia selalu punya cara kreatif untuk bertahan hidup. Kalau jalan macet, ya lawan arah. Kalau harga BBM naik, ya isi pertamax campur premium. Kalau produk impor murah menyerbu pasar, ya... bikin versi KW-nya. Dan kini, Menteri UMKM Maman Abdurrahman seolah hanya mengucapkan dengan lantang apa yang sudah lama kita lakukan diam-diam: "Ayo produksi tas-tas KW juga kayak mereka [China]."
Langsung ramai, tentu saja. Dari kafe sampai kolom komentar media sosial, orang berdebat apakah ide ini jenius atau blunder. Sebagian marah karena katanya itu mencoreng martabat produk lokal. Tapi sebagian lain, termasuk saya, justru berpikir: barangkali inilah saatnya kita berhenti sok suci terhadap sesuatu yang dunia sudah lama lakukan---yakni meniru dengan cerdas.
KW itu sekolah ekonomi rakyat
Kita suka berpikir bahwa barang KW itu dosa mortal dalam dunia usaha. Padahal kalau kita mundur sedikit, meniru adalah fase alami dari semua peradaban industri. Jepang dulu memulai dengan meniru produk Eropa dan Amerika. Tahun 1960-an, mereka terkenal sebagai negara pembuat barang imitasi. Tapi perlahan, mereka belajar, memperbaiki, lalu melampaui. Dari peniru menjadi pencipta: Toyota, Sony, Panasonic.
China lebih ekstrem lagi. Negara itu bahkan seperti memelihara industri tiruan. Pemerintahnya tahu, meniru itu mempercepat transfer teknologi dan membuka lapangan kerja. Alih-alih menindak, mereka memberi ruang eksperimen. Maka jadilah Shenzhen---kota yang dulu sarang barang KW---sekarang pusat inovasi global, rumah bagi Huawei, DJI, dan ratusan merek asli.
Kalau kita mau jujur, Indonesia juga sudah lama hidup di dunia "semi-KW." Dari sandal jepit bergambar superhero sampai kemeja "Z*ra" di pasar malam. Tapi bukannya mati karena malu, ekonomi rakyat justru tumbuh di situ. Pasar Tanah Abang, PGS, dan ITC menjadi pusat sirkulasi uang karena kreativitas meniru itu. Apakah semuanya salah? Tidak selalu. Kadang "KW" hanyalah label yang diberikan oleh mereka yang takut disaingi versi murahnya.
Meniru itu bukan mencuri, kalau kau tahu batasnya
Kritik terbesar terhadap ide ini tentu soal pelanggaran hak cipta dan paten. Tapi hukum itu punya nuansa, tidak hitam putih. Tidak semua tiruan otomatis ilegal. Kalau kita meniru gaya, tapi tidak menyalin logo atau merek, itu masuk wilayah "inspirasi," bukan "pelanggaran."
Ambil contoh: tas Hermes KW di Cibaduyut. Kalau logonya bukan H melainkan huruf N, warnanya agak beda, bahan kulitnya dari sapi lokal, dan jahitannya buatan tangan, apakah itu pencurian atau kreativitas adaptif? Bisa diperdebatkan. Dalam seni pun, banyak seniman besar belajar dengan meniru gaya maestro, sebelum menemukan gayanya sendiri.
Begitu juga bisnis. Inovasi sering muncul dari meniru dan memodifikasi. Thomas Edison bukan penemu pertama bola lampu; dia menyempurnakannya. Steve Jobs meniru desain antarmuka Xerox untuk menciptakan Macintosh. Bahkan TikTok meniru Vine, Instagram meniru Snapchat, dan dunia tetap berputar dengan paten-paten yang saling bertindihan.
Jadi, meniru bukan dosa, asal tahu etika dan batasnya. Jangan menempel logo, jangan klaim merek orang lain, dan jangan mengelabui konsumen. Kalau bisa, tambahkan fitur baru, ubah modelnya sedikit, atau gunakan bahan lokal yang lebih kuat. Itulah "meniru cerdas"---tiruan yang tahu malu tapi tetap percaya diri.
Meniru sebagai strategi industrialisasi
Masalah utama UMKM kita bukan kurang ide, tapi kurang akses teknologi. Kita disuruh berinovasi, tapi bahan baku mahal, alat terbatas, riset nihil, dan modal langka. Dalam kondisi begitu, meniru bisa jadi strategi awal industrialisasi. Kita belajar cara membuat produk global, memahami rantai pasok, menguasai desain, dan dari situ lahir keahlian baru.