Mungkin inilah perang paling halus di republik ini --- perang yang tidak berisik, tidak berasap, tapi mengguncang persepsi: perang di antara angka dan narasi.
Ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berkata bahwa APBN tidak akan digunakan untuk membayar utang proyek kereta cepat, publik mendengarnya sebagai pernyataan fiskal. Namun bagi telinga yang terbiasa membaca bahasa kekuasaan, kalimat itu terdengar seperti bunyi sepatu tentara di koridor sunyi. Ada strategi di baliknya.
Prabowo Subianto, jenderal yang menua bersama kenangan perang, tampaknya sedang memainkan taktik baru --- perang tanpa tembakan, perang di dalam ingatan publik. Ia tak perlu memerintahkan pasukan; cukup mengatur narasi. Ia tahu, di republik yang lelah oleh slogan, satu kalimat tentang utang bisa mengubah persepsi tentang sebuah rezim.
Bayang di Balik Angka
Kereta cepat Jakarta--Bandung, proyek yang dulu dielu-elukan sebagai simbol kebanggaan nasional, kini berganti wajah menjadi angka-angka utang. Di mata rakyat, proyek itu kehilangan romantika teknologi; ia tinggal statistik, cicilan, dan beban fiskal.
Dan ketika Purbaya menolak menanggungnya lewat APBN, ia seolah berkata bahwa dosa masa lalu tidak perlu ditebus oleh generasi kini. Di situlah narasi baru lahir: bahwa Jokowi telah meninggalkan warisan yang mahal, dan Prabowo datang membawa disiplin.
Politik, pada akhirnya, selalu berurusan dengan ingatan. Pemerintah baru tidak perlu meruntuhkan pendahulunya dengan kritik langsung --- cukup menolak menanggung bebannya. Sejarah akan mengerjakan sisanya.
Taktik Jarak dan Pembersihan Simbolik
Dalam teori kekuasaan, jarak adalah bentuk komunikasi. Prabowo tidak menyerang Jokowi, tapi juga tidak memeluknya erat. Ia membiarkan tangan fiskalnya menjauh --- seolah sedang menata ulang batas moral antara dua era.
Jarak ini bukan permusuhan, melainkan penataan ulang legitimasi. Jokowi adalah masa pembangunan besar yang boros; Prabowo ingin tampil sebagai masa penataan yang hemat. Keduanya mungkin masih bersalaman di depan kamera, tetapi dalam ruang wacana, jarak itu tumbuh seperti garis demarkasi yang tak kasat mata.
Di sini, ekonomi menjadi bahasa politik. Dan fiskal berubah menjadi alat diplomasi antar-era.
Politik Ingatan
Prabowo memahami satu hal penting: rakyat lebih mudah mengingat simbol daripada angka. Bila kereta cepat menjadi simbol pemborosan, dan IKN menjadi lambang ambisi yang tak realistis, maka ia tak perlu bicara banyak. Cukup biarkan rakyat mengingat Jokowi lewat utangnya.