Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perang Sunyi di Balik Neraca

16 Oktober 2025   10:58 Diperbarui: 16 Oktober 2025   10:58 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Purbaya menolak bayar utang kereta cepat. (Gambar dibuat dengan AI)

Mungkin inilah perang paling halus di republik ini --- perang yang tidak berisik, tidak berasap, tapi mengguncang persepsi: perang di antara angka dan narasi.

Ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berkata bahwa APBN tidak akan digunakan untuk membayar utang proyek kereta cepat, publik mendengarnya sebagai pernyataan fiskal. Namun bagi telinga yang terbiasa membaca bahasa kekuasaan, kalimat itu terdengar seperti bunyi sepatu tentara di koridor sunyi. Ada strategi di baliknya.

Prabowo Subianto, jenderal yang menua bersama kenangan perang, tampaknya sedang memainkan taktik baru --- perang tanpa tembakan, perang di dalam ingatan publik. Ia tak perlu memerintahkan pasukan; cukup mengatur narasi. Ia tahu, di republik yang lelah oleh slogan, satu kalimat tentang utang bisa mengubah persepsi tentang sebuah rezim.

Bayang di Balik Angka

Kereta cepat Jakarta--Bandung, proyek yang dulu dielu-elukan sebagai simbol kebanggaan nasional, kini berganti wajah menjadi angka-angka utang. Di mata rakyat, proyek itu kehilangan romantika teknologi; ia tinggal statistik, cicilan, dan beban fiskal.

Dan ketika Purbaya menolak menanggungnya lewat APBN, ia seolah berkata bahwa dosa masa lalu tidak perlu ditebus oleh generasi kini. Di situlah narasi baru lahir: bahwa Jokowi telah meninggalkan warisan yang mahal, dan Prabowo datang membawa disiplin.

Politik, pada akhirnya, selalu berurusan dengan ingatan. Pemerintah baru tidak perlu meruntuhkan pendahulunya dengan kritik langsung --- cukup menolak menanggung bebannya. Sejarah akan mengerjakan sisanya.

Taktik Jarak dan Pembersihan Simbolik

Dalam teori kekuasaan, jarak adalah bentuk komunikasi. Prabowo tidak menyerang Jokowi, tapi juga tidak memeluknya erat. Ia membiarkan tangan fiskalnya menjauh --- seolah sedang menata ulang batas moral antara dua era.

Jarak ini bukan permusuhan, melainkan penataan ulang legitimasi. Jokowi adalah masa pembangunan besar yang boros; Prabowo ingin tampil sebagai masa penataan yang hemat. Keduanya mungkin masih bersalaman di depan kamera, tetapi dalam ruang wacana, jarak itu tumbuh seperti garis demarkasi yang tak kasat mata.

Di sini, ekonomi menjadi bahasa politik. Dan fiskal berubah menjadi alat diplomasi antar-era.

Politik Ingatan

Prabowo memahami satu hal penting: rakyat lebih mudah mengingat simbol daripada angka. Bila kereta cepat menjadi simbol pemborosan, dan IKN menjadi lambang ambisi yang tak realistis, maka ia tak perlu bicara banyak. Cukup biarkan rakyat mengingat Jokowi lewat utangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun