Di sisi lain, keputusan ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa langkahnya seketika dan frontal?Â
Sejak Agustus lalu, TikTok sudah dipanggil dan diminta menyerahkan data. Mengapa tidak ditempuh jalan tengah, misalnya pembatasan bertahap, transparansi publik soal negosiasi, atau skema transisi yang melindungi pelaku usaha kecil? Kenapa langsung beku---dengan konsekuensi jutaan orang kehilangan akses mata pencaharian?
Sikap semacam ini justru memperkuat kesan bahwa pemerintah ingin mengontrol aliran informasi, terutama setelah Live TikTok terbukti menjadi medium mobilisasi massa dalam unjuk rasa. Pertanyaan sinis pun muncul: apakah ini soal data, atau soal takut pada rakyat yang bisa mengorganisasi diri lewat layar ponsel?
Dari perspektif entrepreneur, pembekuan ini juga membawa dampak psikologis. Dunia usaha digital berjalan di atas fondasi kepercayaan. Investor, kreator, dan UMKM berinvestasi waktu, tenaga, dan uang karena mereka percaya platform itu stabil dan tidak tiba-tiba dimatikan oleh otoritas. Begitu keyakinan itu goyah, efeknya menular. Bukan hanya TikTok yang diragukan, tapi seluruh ekosistem digital Indonesia. Siapa yang menjamin besok YouTube Live, Instagram Live, atau Shopee Live tidak mengalami hal serupa ketika ada gesekan dengan pemerintah?
Ketidakpastian inilah yang paling ditakuti entrepreneur. Kita bisa beradaptasi pada perubahan algoritma, tren pasar, bahkan resesi ekonomi. Tetapi kita sulit beradaptasi pada regulasi yang datang mendadak, tanpa memperhitungkan efek domino di lapangan. Bukankah stabilitas regulasi adalah syarat utama sebuah negara disebut ramah investasi?
Sebagian orang mungkin berargumen bahwa pedagang bisa pindah ke platform lain. Memang benar. Tetapi migrasi tidak semudah itu. Setiap platform punya ekosistem sendiri: algoritma, basis pengguna, hingga cara berinteraksi.Â
Pedagang yang sudah punya ribuan pengikut loyal di TikTok Live harus membangun ulang dari nol jika pindah ke Instagram atau YouTube. Itu artinya biaya tambahan, waktu, dan tentu saja kerugian yang tidak kecil.
Bayangkan jika sebuah toko fisik dipaksa pindah ke lokasi baru tanpa kompensasi, hanya karena pemerintah menutup pasar lama. Apakah adil?
Sebagai pengamat entrepreneur, saya hanya bisa menyayangkan bahwa negara seakan lebih cepat menghukum daripada melindungi. Padahal, jalan tengah selalu ada. Pemerintah bisa tetap tegas menagih kewajiban data pada TikTok, sekaligus menyiapkan skema perlindungan bagi UMKM digital. Bisa dengan memberi tenggat transisi, menyediakan wadah alternatif, atau minimal memberi kejelasan bahwa pembekuan hanya bersifat sementara dengan batas waktu yang pasti.
Sayangnya, yang kita lihat justru ketergesaan. Seakan-akan pemerintah ingin memberi contoh keras, tanpa peduli pada riak-riak kecil yang justru menghantam rakyat biasa.