Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Studi Ekonomi Politik di Indonesia: Antara Ilmu, Sentimen, dan Realitas Sosial

25 September 2025   00:02 Diperbarui: 25 September 2025   00:02 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi studi ekonomi politik. (Gambar dibuat dengan AI)

Indonesia hari ini berada pada persimpangan yang menarik. Di satu sisi, semakin banyak kampus membuka program studi ekonomi, bisnis, dan kebijakan publik. Jurnal-jurnal ilmiah berkembang, penelitian dibiayai, konferensi diselenggarakan. Di sisi lain, keputusan-keputusan ekonomi yang paling menentukan---dari pajak karbon, subsidi energi, hingga pengelolaan utang negara---masih lebih banyak dipengaruhi oleh kalkulasi politik jangka pendek dan sentimen publik ketimbang hasil kajian akademis. Fenomena ini mengingatkan kita pada catatan para ekonom klasik seabad lalu: ilmu ekonomi memang bertumbuh, tetapi pengaruhnya terhadap arus besar masyarakat sering kali terbatas.

Ekonomi di ruang publik: suara sains yang lirih

Diskursus ekonomi di Indonesia kini hidup di banyak ruang, mulai dari media massa, media sosial, hingga forum akademik. Namun, suara para ekonom sering kali kalah keras dibanding komentar influencer atau tokoh politik yang berbicara tanpa dasar teori yang memadai. Isu seperti harga beras, nilai tukar, atau utang luar negeri lebih sering diperdebatkan dalam bingkai emosional: "pemerintah gagal mengurus perut rakyat" atau "utang mengancam kedaulatan bangsa". Kritik moral semacam ini sah, bahkan perlu, tetapi sering kali tidak diimbangi dengan penjelasan ilmiah tentang mekanisme pasar, produktivitas pertanian, atau struktur fiskal negara.

Kenyataan ini memperlihatkan paradoks. Ada perhatian besar pada isu ekonomi, tetapi cara berpikir ilmiah masih terbatas di kalangan kecil---akademisi, birokrat teknokrat, atau analis profesional. Bagi sebagian besar masyarakat, ekonomi dipahami lebih sebagai cerita politik atau moral ketimbang sebagai ilmu dengan metode dan prinsip yang ketat.

Pendidikan ekonomi: kuantitas tumbuh, kualitas beragam

Jika kita menengok ke kampus, jumlah mahasiswa ekonomi dan bisnis tumbuh pesat. Setiap tahun puluhan ribu lulusan baru dilepas ke pasar kerja. Tetapi pertanyaan yang menggantung adalah: apakah pendidikan ekonomi di Indonesia sudah menghasilkan pola pikir analitis yang sistematis, atau hanya mengajarkan teori textbook tanpa kepekaan terhadap realitas?

Kurikulum ekonomi sering kali berat pada teori neoklasik standar, sementara konteks lokal---ekonomi informal, UMKM, koperasi, ekonomi digital berbasis platform---kurang mendapat porsi yang memadai. Akibatnya, mahasiswa fasih berbicara tentang model IS-LM atau teori pertumbuhan Solow, tetapi gagap ketika harus menjelaskan kenapa pedagang kecil memilih tidak membayar pajak, atau bagaimana nelayan menghadapi fluktuasi harga solar. Celah antara abstraksi dan kenyataan inilah yang membuat ilmu ekonomi di kampus tidak otomatis diterjemahkan menjadi kebijakan yang efektif.

Metodologi: data melimpah, analisis masih dangkal

Seperti halnya perdebatan di Amerika abad ke-19 tentang metode deduktif dan historis, Indonesia hari ini juga bergulat dengan pertanyaan metodologis. Data semakin melimpah: BPS, OJK, Bank Indonesia, Kemenkeu, bahkan big data dari marketplace dan media sosial. Namun, kelimpahan data tidak selalu diikuti dengan kedalaman analisis. Banyak kajian berhenti pada statistik deskriptif tanpa menggali kausalitas atau tren jangka panjang.

Di sisi lain, kecenderungan normatif juga kuat. Sebagian tulisan akademik lebih banyak memberi nasihat moral---misalnya tentang pentingnya keadilan atau kesejahteraan---tanpa menyodorkan analisis empiris yang kuat. Perpaduan antara "moral tinggi" dan "data minim" membuat penelitian sulit menjadi acuan kebijakan yang konkret. Padahal, sebagaimana diingatkan Laughlin lebih dari seabad lalu, sentimen tanpa sains bisa berbahaya karena mendorong kebijakan yang indah di atas kertas, tetapi gagal di lapangan.

Peran negara: intervensi atau kebebasan?

Debat klasik tentang laissez-faire dan intervensi negara juga hidup di Indonesia. Di satu sisi, ada desakan agar pemerintah memberi subsidi, melindungi UMKM, bahkan mengatur harga komoditas strategis. Di sisi lain, ada suara yang mendorong liberalisasi, membuka keran investasi asing, dan mengurangi peran negara. Faktanya, Indonesia menempuh jalan tengah: negara tetap hadir melalui subsidi energi, program bansos, dan BUMN, tetapi pada saat yang sama mendorong pasar bebas di sektor digital dan perdagangan global.

Masalahnya, perdebatan publik sering jatuh pada dikotomi sempit: "pro rakyat" versus "pro pasar". Padahal, sebagaimana ditunjukkan sejarah pemikiran ekonomi, baik Adam Smith maupun John Stuart Mill tidak pernah menolak intervensi negara secara mutlak. Yang lebih penting adalah menimbang konteks, biaya, dan manfaat dari setiap kebijakan---sesuatu yang justru membutuhkan kajian ilmiah yang lebih serius.

Isu-isu kontemporer: dari digitalisasi hingga ketimpangan

Ekonomi Indonesia kini menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks dibanding era kolonial atau awal kemerdekaan. Ekonomi digital membuka peluang baru, tetapi juga melahirkan monopoli platform. Sektor pertanian masih menjadi tulang punggung, tetapi produktivitasnya tertinggal. Urbanisasi menciptakan kelas menengah baru, tetapi juga memperlebar jurang ketimpangan dengan daerah tertinggal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun