Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kritik di Era AI

4 September 2025   11:02 Diperbarui: 4 September 2025   11:02 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kritik di era AI. (Gambar dibuat dengan AI)

Kebebasan berekspresi di media sosial adalah paradoks paling nyata di zaman ini. Kita bebas menulis, bebas bercanda, bebas beropini, tapi pada saat yang sama dibayangi ketakutan: satu status bisa ditafsir sebagai ujaran kebencian, satu meme bisa dianggap penghinaan, satu cuitan bisa dikategorikan penghasutan. Skeptis? Tentu. Provokatif? Sudah seharusnya. Karena bagaimana mungkin kita menyebut diri warga negara merdeka, bila sekadar menulis kritik terhadap pejabat bisa berujung interogasi?

Namun, diam bukan pilihan. Justru di titik inilah kecerdikan diperlukan. Kita harus belajar bagaimana tetap kritis, tanpa harus menjadi martir digital. Bagaimana menyampaikan suara dengan gaya yang licin, humoris, bahkan satir, tapi tetap aman dari pasal karet.

Bahaya Jempol di Era Siber

Mari tengok berita terbaru. Pada awal 2025, Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri bersama Kementerian Komunikasi dan Digital membongkar sebuah sindikat penipuan berbasis deepfake. Video Presiden Prabowo Subianto disulap seolah-olah menawarkan bantuan sosial, lengkap dengan instruksi mentransfer uang administrasi. Wajahnya tampak asli, suaranya pun meyakinkan. Ternyata palsu. Pelakunya, berinisial AMA, ditangkap di Lampung. Tidak hanya itu, wajah Sri Mulyani dan Gibran juga dicatut. Semua demi menipu masyarakat digital yang lengah.

Kasus lain, tiga orang di Pangandaran ditahan karena membuat video deepfake Gubernur Jawa Timur. Mereka menjual motor murah dengan wajah Khofifah sebagai iklan palsu. Bayangkan: siapa pun bisa menjadi korban---baik publik figur yang wajahnya dicatut, maupun masyarakat awam yang tertipu.

Di sini jelas terlihat: teknologi AI adalah pedang bermata ganda. Di satu sisi bisa membantu kreativitas, di sisi lain jadi senjata bandit digital. Polisi siber kemudian turun tangan, bukan hanya untuk menangkap pelaku, tapi juga untuk mencegah penyebaran. Namun, keberadaan mereka sekaligus mempertegas bahwa setiap gerak jempol kita diawasi.

Cara Kerja Patroli Siber dan Teknologi AI

Polri tidak lagi pasif menunggu laporan. Tim patroli siber aktif memantau media sosial, forum daring, bahkan aplikasi percakapan. Tujuannya bukan hanya mencari hoaks atau pornografi, tetapi juga konten provokatif dan penghasutan. Mereka bekerja dengan dua jalur: deteksi konten dan edukasi publik.

Pada kasus deepfake, Polri menggunakan forensik digital. Teknik seperti error level analysis dipakai untuk menemukan anomali visual pada frame video. AI yang dipakai bandit digital untuk menipu, dijawab dengan AI pula untuk membongkar. Setelah pelaku ditangkap, Polri bekerja sama dengan Komdigi menyebarkan literasi digital: masyarakat diajak mengenali tanda-tanda video palsu, tidak sembarangan menyebarkan konten, dan selalu memverifikasi sumber resmi.

Tapi mari kita skeptis. Patroli siber tidak hanya mendeteksi deepfake. Mereka juga memantau kata-kata. Ujaran di Facebook, komentar di Instagram, atau tweet bisa diproses dengan algoritma pencarian teks. Natural Language Processing (NLP) menjadi alat untuk memilah mana yang sekadar kritik, mana yang bisa ditafsir sebagai ujaran kebencian atau ajakan aksi. Artinya, interpretasi verbal juga menjadi lahan kerja AI. Masalahnya, AI tidak selalu tepat. Ia bisa salah tafsir, menyamaratakan kritik tajam sebagai hasutan.

Di titik ini, risiko muncul: ruang digital bisa menyusut, bukan karena rakyat takut bersuara, melainkan karena algoritma menganggap suara itu berbahaya. Kita perlu cerdas membaca situasi ini.

Kritik Aman tapi Tetap Kritis

Apakah ini berarti kita harus diam? Tidak. Justru inilah saatnya mengasah seni kritik. Sejarah mencatat, satire dan humor sering lebih tajam dari makian frontal. Karikatur, metafora, dan sindiran bisa membuat orang berpikir lebih dalam daripada caci-maki. Mari kita terapkan di media sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun