Orang sering menyangka bahwa ketika ia berbuat baik, ia sedang menyumbangkan sesuatu kepada dunia. Lalu ketika ia berbuat zalim, ia sedang mengambil sesuatu dari dunia. Tapi bagaimana jika kenyataannya terbalik? Bahwa setiap tindakan moral---baik atau buruk---bukanlah transaksi sosial, melainkan kontrak eksistensial dengan diri sendiri.
Filsafat tak suka berhenti pada pujian atas kebaikan. Ia lebih suka bertanya: "Untuk siapa sebenarnya kita berbuat baik?" Jawaban moral populer mengatakan: "Untuk orang lain." Tapi filsafat---yang selalu mencurigai moralitas populer---akan bertanya lagi: "Yakin itu bukan untuk memuaskan citra diri, atau untuk memperkuat eksistensi?"
Lalu kita sampai pada gagasan ini: berbuat baik sejatinya adalah untuk diri sendiri. Tentu, ini bukan egoisme murahan. Ini juga bukan nihilisme yang menolak keberadaan nilai objektif. Ini justru pengakuan bahwa tindakan moral yang paling otentik adalah yang membentuk karakter dan kesadaran diri, bukan yang sekadar mengharapkan tepuk tangan atau balasan.
Kebaikan, dengan kata lain, adalah proses pembentukan diri. Bukan hadiah bagi dunia, tapi investasi bagi jiwa. Dan karena itu pula, ia tidak perlu pengakuan. Bahkan jika tidak disaksikan siapa-siapa, kebaikan tetap bekerja dalam batin kita. Ia mengasah empati, melatih kendali diri, dan membangun semacam arsitektur batin yang tahan terhadap absurditas dunia.
Sebaliknya, kezaliman---yang tampak sebagai bentuk dominasi---adalah bentuk kekalahan paling senyap. Ia seperti pisau yang melukai tangan pemiliknya sendiri. Ketika seseorang menzalimi yang lemah, ia bukan menunjukkan kekuatan, melainkan ketakutan: takut terhadap keterbatasannya sendiri, terhadap kehilangan kontrol, terhadap bayangan kegagalannya sendiri.
Zalim adalah orang yang menolak batas, tapi justru terjerat dalam batas terburuk: batas kejiwaan. Ia berusaha menjadi tuhan kecil dalam kehidupan sosial, tapi akhirnya menjadi budak dari kebohongan yang ia ciptakan sendiri. Dunia memang sering lambat menghukum kezaliman. Tapi jiwa tidak pernah menunda. Ia mencatat. Ia menumpuk rasa bersalah, paranoia, dan kegelisahan eksistensial.
Dalam tradisi Timur, ini dikenal sebagai hukum karma. Dalam sufisme, ini disebut sebagai hijab batin---tirai yang menghalangi manusia melihat kebenaran karena terlalu banyak kezaliman yang menumpuk dalam jiwanya. Dan dalam eksistensialisme, ini hadir sebagai absurditas: manusia yang hidup dalam ilusi kekuasaan, tapi kehilangan makna.
Nietzsche pernah menulis bahwa "orang yang memandang ke dalam jurang terlalu lama, akan diserap ke dalamnya." Jurang itu bisa jadi adalah kezaliman yang kita pelihara sendiri. Ia tak memakan korban langsung. Tapi ia menggerogoti eksistensi pelakunya. Dalam bahasa sederhana: orang zalim, cepat atau lambat, hidup dalam ketakutan terhadap balasan yang ia tahu layak ia terima.
Kita bisa menilai ini dari kenyataan paling dekat: mengapa orang zalim seringkali curiga pada semua orang? Karena ia tahu, secara naluriah, bahwa apa yang ia lakukan terhadap orang lain, bisa kembali kepadanya. Ia hidup dalam dunia yang ia bentuk sendiri---dunia yang penuh manipulasi, dendam, dan ketidakpercayaan.
Berbuat baik membuat manusia nyaman dengan dirinya. Berbuat zalim membuat manusia asing terhadap dirinya. Itu sebabnya, orang baik biasanya lebih damai dalam kesendirian. Sementara orang zalim gelisah meski dikelilingi kekuasaan. Kebaikan memperluas ruang batin. Kezaliman menyempitkan napas eksistensial.