Bekerja bersama saudara, di atas kertas, tampak seperti formula yang menjanjikan. Kita sudah saling kenal, punya ikatan emosional, dan bisa lebih luwes dalam komunikasi. Tapi realitas tidak selalu sesuai harapan. Di ruang kerja, saudara bisa jadi rekan, bisa juga jadi rintangan.
Pertanyaan "lebih baik kerja bareng saudara atau orang lain" tampaknya sederhana. Namun dari tiga studi serius di Indonesia, Amerika Serikat, dan Sri Lanka, jawabannya tidak sesederhana hubungan darah. Yang menjadi kunci bukan siapa yang diajak kerja, melainkan bagaimana struktur, nilai, dan relasi profesional dibentuk dalam bisnis tersebut.
Nepotisme Sebagai Awal dari Turunan Masalah
Dalam studi kasus oleh Zakia dan Pritasari pada bisnis makanan tradisional di Jawa Barat, ditemukan praktik nepotisme sebagai masalah paling awal dan paling besar. Anak atau keponakan bisa langsung bekerja tanpa wawancara, tanpa CV, dan tanpa proses seleksi. Sementara pegawai non-keluarga harus mengikuti jalur formal.
Akibatnya, muncul kesenjangan psikologis antara "anak kandung" dan "anak tiri" organisasi. Kinerja merosot, loyalitas melemah, dan konflik diam-diam tumbuh. Para pegawai non-keluarga merasa tidak punya masa depan, bukan karena tak mampu, tapi karena atap pertumbuhan sudah ditempati oleh darah biru internal.
Jika kerja bareng saudara tidak diiringi sistem perekrutan dan promosi yang adil, maka ia bukan menjadi kekuatan, melainkan titik lemah yang membusuk dari dalam.
Saudara Belum Tentu Paling Peduli
Studi menarik datang dari Amerika Serikat. Sloane Echevarria, dalam risetnya pada bisnis keluarga di Carolina Utara, justru menemukan bahwa pegawai non-keluarga menunjukkan loyalitas, pelayanan pelanggan, dan pemahaman nilai-nilai organisasi yang lebih kuat dibanding pegawai keluarga.
Fakta ini meruntuhkan asumsi umum bahwa karena dia keluarga, pasti lebih peduli. Sebaliknya, asumsi itu membuat manajemen lengah. Saudara dianggap pasti cocok dengan nilai perusahaan, padahal bisa jadi mereka bekerja hanya karena tidak ada pilihan lain.
Sementara pegawai luar yang diseleksi karena kecocokan nilai dan kompetensi justru punya motivasi yang lebih tulus untuk menjaga performa. Bagi mereka, perusahaan bukan warisan, melainkan tempat di mana integritas diuji setiap hari.
Nilai Lebih Penting Daripada Nasab
Satu benang merah dari ketiga riset adalah pentingnya kesesuaian nilai antara individu dan organisasi. Kuruppuge dan Gregar meneliti 145 pegawai non-keluarga di bisnis keluarga di Sri Lanka dan menemukan bahwa keputusan untuk bertahan atau tidak sangat dipengaruhi oleh apakah mereka merasa dihargai, diikutsertakan dalam keputusan, dan apakah nilai perusahaan cocok dengan nilai pribadi mereka.
Artinya, pegawai luar pun bisa menjadi sangat loyal dan efektif jika perusahaan memberi ruang tumbuh. Sementara saudara bisa saja merasa tidak dihargai jika struktur manajemen paternalistik dan tertutup. Maka pertanyaannya bukan siapa dia, melainkan apakah ia cocok secara nilai dan sistem.
Ikatan Emosional Memiliki Dua Sisi
Kedekatan emosional dalam keluarga bisa mempererat solidaritas, tapi juga bisa membuat kritik profesional menjadi tabu. Dalam studi Zakia dan Pritasari, ditemukan bahwa banyak pegawai, baik keluarga maupun bukan, tak berani mengkritik atau menegur kesalahan saudara sendiri karena takut merusak hubungan keluarga.
Beberapa memilih melampiaskan lewat status di media sosial atau obrolan belakang. Ini membuat konflik tidak pernah terselesaikan secara terbuka. Relasi kerja menjadi medan yang penuh ranjau perasaan. Situasi seperti ini membuat profesionalisme menjadi barang mahal.
Bisnis Keluarga Bukan untuk Semua Keluarga
Apa pelajaran dari semua ini? Bahwa bisnis keluarga bukanlah jaminan harmoni. Bahkan, dalam banyak kasus, justru bisnis keluarga menjadi pemicu konflik baru karena batas antara pribadi dan profesional terlalu kabur.
Kerja bareng saudara bisa berhasil jika ada sistem yang adil untuk semua. Saudara diposisikan sesuai kapasitas, bukan karena garis keturunan. Ruang kritik dan evaluasi diciptakan secara sehat. Nilai organisasi dijaga dan ditegakkan, tak peduli siapa pelakunya.
Tanpa itu, kerja bareng saudara hanya akan jadi drama panjang berjudul "karena dia anak pemilik".
***
Pada akhirnya, pertanyaan "lebih mending kerja bareng saudara atau orang lain" sebaiknya dijawab bukan dengan hati yang hangat, tapi dengan kepala yang dingin.
Saudara bisa jadi rekan hebat jika sistemnya sehat. Orang lain bisa jadi musuh jika nilai-nilai organisasi dilanggar. Dalam dunia profesional, bukan darah yang menentukan segalanya, melainkan integritas, nilai bersama, dan keberanian untuk menegakkan keadilan, termasuk kepada keluarga sendiri.
Referensi
Echevarria, S. N. (2017). How working for a small family business impacts employee satisfaction and performance (Honors thesis, East Carolina University). https://thescholarship.ecu.edu/handle/10342/6364
Kuruppuge, R. H., & Gregar, A. (2018). Employees' organizational preferences: A study on family businesses. Economics & Sociology, 11(1), 255--266. https://doi.org/10.14254/2071-789X.2018/11-1/17
Zakia, M. R., & Pritasari, A. (2018). Kinship-based problems affecting the employee performance: A study case of family business in developing city in Indonesia. PEOPLE: International Journal of Social Sciences, 4(2), 1145--1165. https://doi.org/10.20319/pijss.2018.42.11451165
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI