Setiap kali mendengar istilah industri hijau, sebagian besar dari kita langsung membayangkan pabrik-pabrik bersih penuh panel surya, mobil listrik bertebaran di jalan, dan bumi yang kembali asri dalam pelukan teknologi.
Narasi ini dijual dengan manis: katanya, kita bisa tetap tumbuh, tetap untung, tetap konsumtif, tapi kali ini "ramah lingkungan".
Sayangnya, itu dongeng.
Industri hijau versi arus utama sebenarnya hanyalah bungkusan daur ulang dari ambisi lama: pertumbuhan ekonomi tanpa batas. Ia lahir bukan dari keinginan mendalam untuk menyelamatkan bumi, melainkan dari keputusasaan untuk mempertahankan mesin kapitalisme yang mulai batuk-batuk karena krisis ekologi. Di atas kertas, memang ada niat baik---investasi energi bersih, transisi ke mobil listrik, subsidi panel surya.
Tapi di balik layar, logika dasarnya tetap sama: produksi harus naik, konsumsi harus dipacu, keuntungan harus terus bertambah. Padahal justru logika itulah akar masalahnya.
Mari kita jujur: bagaimana mungkin kita bisa "menyelamatkan bumi" sambil terus memproduksi mobil mewah, jet pribadi, gedung pencakar langit, dan ribuan ton iklan digital yang membujuk orang membeli hal yang tak dibutuhkan? Bagaimana bisa kita memproklamirkan diri "hijau" saat produksi daging sapi industri tetap membara, ketika ponsel dibuat dengan sengaja agar cepat rusak, dan ketika tambang logam langka terus diperluas demi baterai kendaraan?
Apa yang disebut industri hijau hari ini hanyalah strategi pewarnaan ulang: mengganti bahan bakar, bukan mengganti tujuan. Yang penting, ekonomi jalan terus. Yang penting, pasar tenang. Yang penting, kita kelihatan sibuk.
Lalu, bagaimana dengan solusi? Apakah kita harus kembali ke zaman obor dan gerobak sapi? Tidak. Yang kita butuhkan bukan nostalgia, tapi keberanian untuk mengubah tujuan ekonomi. Bukan lagi soal menambah produksi demi angka GDP, tapi soal memproduksi hal yang benar-benar dibutuhkan manusia dan planet ini.
Logikanya sederhana: tidak semua industri layak dipertahankan. Ada yang harus dikecilkan, bahkan dimatikan. Contoh? Industri penerbangan komersial yang makin boros dan elitis, iklan yang hanya memperbesar nafsu konsumsi, dan mode cepat (fast fashion) yang bikin pakaian jadi sampah setelah dua kali cuci.
Kita tidak butuh lebih banyak mobil listrik jika yang dikorbankan adalah hutan untuk tambang litium. Kita butuh lebih sedikit kendaraan, dan lebih banyak kereta dan jalur sepeda.
Tentu saja, ini bukan ide yang disukai elite bisnis dan birokrat teknologi. Mereka ingin kita percaya bahwa masalahnya hanyalah teknis: efisiensi mesin, inovasi algoritma, kecerdasan buatan. Padahal, persoalannya jauh lebih mendasar: siapa yang menentukan apa yang diproduksi, dan untuk siapa?
Saat ini, jawaban dari pertanyaan itu adalah: mereka yang punya uang. Produksi diarahkan bukan untuk memenuhi kebutuhan sosial, tapi demi memuaskan pasar yang punya daya beli.
Maka jangan heran jika ada lebih banyak riset tentang membuat TV lebih ramping ketimbang cara menyalurkan air bersih ke desa terpencil. Jangan kaget jika kota dibanjiri apartemen mewah kosong, sementara rakyat kesulitan cari rumah sewa yang layak.
Untuk itu, kita butuh pengendalian produksi yang lebih demokratis. Artinya, negara harus kembali berani menentukan arah. Bukan sekadar memberi insentif dan berharap pasar mengikuti, tapi mengarahkan langsung investasi, tenaga kerja, dan teknologi ke sektor-sektor yang dibutuhkan bersama: energi terbarukan, transportasi umum, pertanian lokal, layanan kesehatan, perumahan sosial.
Kita juga butuh keberanian untuk bilang: cukup. Cukup konsumsi berlebihan. Cukup produksi demi produksi. Cukup mendewakan pertumbuhan ekonomi tanpa pertanyaan. Bumi bukan spreadsheet, dan masyarakat bukan mesin penggerak pasar.
Dan mari jangan lagi menutup mata dari fakta: ketimpangan global dan lokal adalah biang kerok dari semua ini. Negara-negara kaya dan individu-individu superkaya adalah penyumbang terbesar emisi dan limbah.
Sementara itu, masyarakat miskin di berbagai penjuru dunia---yang justru hidup jauh lebih ramah lingkungan---dipaksa mengikuti standar pembangunan yang sama rusaknya.
Jika memang serius ingin "transisi hijau", kita tak bisa melakukannya tanpa keadilan. Artinya, negara-negara makmur harus mengurangi konsumsi dan produksi mereka secara signifikan. Mereka juga wajib memberikan kompensasi kepada negara-negara miskin yang selama ini menanggung beban perubahan iklim dan eksploitasi sumber daya.
Tentu saja, semua ini terdengar mustahil. Dan memang akan terus terdengar mustahil---selama kita menyerahkan masa depan bumi pada konferensi bisnis, brosur investasi hijau, dan pidato para teknokrat yang tak pernah menyentuh tanah.
Tapi perubahan besar memang selalu tampak gila sebelum jadi kenyataan. Jadi, mungkin saatnya kita bertanya: kita ingin masa depan yang hijau... atau hanya pewarna hijau pada masa lalu yang sama?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI