Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Industri Hijau untuk Siapa?

8 Juni 2025   11:35 Diperbarui: 9 Juni 2025   13:04 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi daerah wisata Raja Ampat. (Sumber: Kompas/Nabilla Ramadhian)

Tentu saja, ini bukan ide yang disukai elite bisnis dan birokrat teknologi. Mereka ingin kita percaya bahwa masalahnya hanyalah teknis: efisiensi mesin, inovasi algoritma, kecerdasan buatan. Padahal, persoalannya jauh lebih mendasar: siapa yang menentukan apa yang diproduksi, dan untuk siapa?

Saat ini, jawaban dari pertanyaan itu adalah: mereka yang punya uang. Produksi diarahkan bukan untuk memenuhi kebutuhan sosial, tapi demi memuaskan pasar yang punya daya beli.

Maka jangan heran jika ada lebih banyak riset tentang membuat TV lebih ramping ketimbang cara menyalurkan air bersih ke desa terpencil. Jangan kaget jika kota dibanjiri apartemen mewah kosong, sementara rakyat kesulitan cari rumah sewa yang layak.

Untuk itu, kita butuh pengendalian produksi yang lebih demokratis. Artinya, negara harus kembali berani menentukan arah. Bukan sekadar memberi insentif dan berharap pasar mengikuti, tapi mengarahkan langsung investasi, tenaga kerja, dan teknologi ke sektor-sektor yang dibutuhkan bersama: energi terbarukan, transportasi umum, pertanian lokal, layanan kesehatan, perumahan sosial.

Kita juga butuh keberanian untuk bilang: cukup. Cukup konsumsi berlebihan. Cukup produksi demi produksi. Cukup mendewakan pertumbuhan ekonomi tanpa pertanyaan. Bumi bukan spreadsheet, dan masyarakat bukan mesin penggerak pasar.

Dan mari jangan lagi menutup mata dari fakta: ketimpangan global dan lokal adalah biang kerok dari semua ini. Negara-negara kaya dan individu-individu superkaya adalah penyumbang terbesar emisi dan limbah.

Sementara itu, masyarakat miskin di berbagai penjuru dunia---yang justru hidup jauh lebih ramah lingkungan---dipaksa mengikuti standar pembangunan yang sama rusaknya.

Jika memang serius ingin "transisi hijau", kita tak bisa melakukannya tanpa keadilan. Artinya, negara-negara makmur harus mengurangi konsumsi dan produksi mereka secara signifikan. Mereka juga wajib memberikan kompensasi kepada negara-negara miskin yang selama ini menanggung beban perubahan iklim dan eksploitasi sumber daya.

Tentu saja, semua ini terdengar mustahil. Dan memang akan terus terdengar mustahil---selama kita menyerahkan masa depan bumi pada konferensi bisnis, brosur investasi hijau, dan pidato para teknokrat yang tak pernah menyentuh tanah.

Tapi perubahan besar memang selalu tampak gila sebelum jadi kenyataan. Jadi, mungkin saatnya kita bertanya: kita ingin masa depan yang hijau... atau hanya pewarna hijau pada masa lalu yang sama?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun