"Research," kata Google, adalah penyelidikan sistematis terhadap materi dan sumber untuk menetapkan fakta dan menemukan kesimpulan baru. Sederhana. Rasional. Terlalu rapi. Terlalu akademis. Terlalu... Google. Kita diajak membayangkan ilmuwan dalam jas lab yang sibuk mencampur cairan misterius, atau seorang akademisi tua yang tenggelam dalam pustaka kuno, memburu makna di antara halaman-halaman usang. Namun kenyataannya, kata "research" telah lama menjadi mantra tanpa makna---diterjemahkan seenaknya, dimanipulasi sepenuhnya, dan dipuja-puji oleh mereka yang tak pernah benar-benar melakukannya.
Begitu banyak proposal penelitian diajukan tiap tahun. Judul-judulnya tampak canggih: "Model Integratif Berbasis Neuro-Konstruktivisme dalam Penguatan Karakter Millennial melalui Media Virtualisasi Kultural Berbasis IoT." Apakah itu riset? Atau hanya kosakata yang dikawinkan secara paksa demi skor penilaian hibah? Definisi Google mungkin benar, tapi terlalu polos dalam memahami dunia nyata riset yang digerakkan oleh dana, jabatan, dan sitasi. Sementara Australian Research Council (ARC), dalam definisi resminya, mencoba tampil lebih idealis: "Research is the creation of new knowledge and/or the use of existing knowledge in a new and creative way." Kedengarannya agung, tetapi apakah benar seperti itu di lapangan?
***
Jika riset adalah penciptaan pengetahuan baru, maka di mana letak kebaruan dalam skripsi yang judulnya dimodifikasi dari lima tahun lalu? Jika riset adalah penggunaan pengetahuan lama secara kreatif, maka mengapa literatur yang dikutip hanya berhenti pada Google Scholar halaman pertama? ARC menyebutkan "new concepts, methodologies, inventions, and understandings" sebagai hasil dari penelitian. Tapi mari jujur: berapa banyak "penelitian" di kampus kita yang benar-benar menghasilkan konsep baru dan bukan sekadar replikasi tanpa refleksi?
Diagram milik Francesca Rendle-Short justru lebih jujur---meski tak sadar. Pengetahuan yang sudah ada >> ditempatkan dalam konteks baru >> lahirlah pengetahuan baru. Ideal, ya. Tapi di tangan birokrat riset, diagram itu berubah menjadi: pengetahuan lama >> copy-paste >> konteks dibuat-buat >> publikasi berbayar >> SK jabatan. Apakah itu penelitian? Atau praktik akademik yang sudah terlalu lama dibiarkan hidup dalam ilusi?
Sialnya, kita hidup dalam budaya akademik yang percaya bahwa asal mencantumkan "metodologi" dan "instrumen valid" maka itu adalah riset. Asal ada bab kajian pustaka dan daftar pustaka yang rapi (meski tak dibaca), maka itu sudah sah menjadi "karya ilmiah." Sejak kapan validitas metodologis menghapus tanggung jawab epistemologis?
Di universitas, kata "research" digunakan seperti jimat sakti. Mahasiswa dijejali dengan tugas penelitian sejak semester awal---skripsi, proposal, PTK, PKM, PTS, PTSL, dan sederet akronim lainnya. Namun mereka tidak diajari curiosity, tidak dibentuk dalam skepticism, dan tidak dipupuk untuk berani mempertanyakan ilmu itu sendiri. Mereka diajari cara mengikuti format, bukan cara berpikir. Mereka diajari APA Style, bukan why ask.
Lalu lahirlah generasi peneliti yang percaya bahwa riset adalah soal "menjawab pertanyaan penelitian" alih-alih "mengajukan pertanyaan yang layak diteliti." Ini kesalahan besar. Riset bukan hanya aktivitas sistematis---itu hanyalah prosedurnya. Riset adalah semangat untuk tidak percaya begitu saja. Untuk mempertanyakan. Untuk menolak jawaban mudah. Untuk menyelidiki dengan hasrat yang tak selesai. Dalam semangat itu, definisi Google dan ARC sama-sama gagal.
Skeptisisme bukan hanya alat, tapi nyawa dari setiap penelitian yang bermartabat. Kita seharusnya mengajarkan mahasiswa dan dosen untuk berani ragu. Tapi kenyataannya, justru yang dirayakan adalah kepastian semu: bahwa temuan sudah harus sesuai hipotesis; bahwa hasil harus signifikan; bahwa penelitian harus selesai dalam satu semester dengan dana tiga juta rupiah.Â