Di tengah laju transformasi digital yang tak terhindarkan, struktur organisasi perusahaan perlu direvisi secara mendasar. Salah satu gagasan yang mulai banyak didiskusikan---dan bahkan dipraktikkan oleh sejumlah startup besar---adalah kesetaraan posisi antara Chief Executive Officer (CEO) dan Chief Information Officer (CIO). Gagasan ini bukan sekadar eksperimen struktural, tapi sebuah respons strategis terhadap kenyataan bahwa teknologi bukan lagi sekadar alat bantu bisnis, melainkan jantung pertumbuhan dan inovasi.
Di banyak perusahaan tradisional, CIO masih diposisikan di bawah CEO, bahkan terkadang berada satu tingkat di bawah CFO atau COO. CIO dianggap sebagai "manajer teknis" yang tugasnya terbatas pada pengadaan perangkat keras, perawatan sistem, dan menjaga keamanan data. Namun, di era ketika produk utama sebuah perusahaan adalah aplikasi, algoritma, dan platform digital, model hierarki ini terbukti usang.
Mari kita ambil contoh Traveloka, startup teknologi asal Indonesia yang telah menjelma menjadi perusahaan regional. Dalam struktur manajemennya, posisi Chief Technology Officer (CTO)---yang dalam banyak hal identik dengan CIO---memiliki kedudukan sejajar secara strategis dengan CEO. Keduanya tidak hanya bekerja sama dalam eksekusi, tetapi bersama-sama menentukan arah produk, model bisnis, dan ekspansi. CTO bukan lagi pihak yang "menunggu perintah" dari bisnis, melainkan turut mendefinisikan apa itu bisnis.
Contoh lain datang dari Gojek. Ketika Gojek mulai berekspansi ke layanan selain transportasi, mereka menyadari bahwa kompleksitas produk dan skala teknologi membutuhkan perubahan tata kelola. Gojek lalu membentuk struktur di mana CEO dan CTO sama-sama duduk di Dewan Eksekutif, menyampaikan laporan dan visi ke Board secara langsung. Dalam hal ini, teknologi tidak lagi menjadi pelayan bisnis, melainkan mitra strategis yang setara. Hal ini memungkinkan Gojek untuk berevolusi dari layanan ojek online menjadi ekosistem super-app.
Kesetaraan antara CEO dan CIO/CTO berdampak langsung pada intensitas komunikasi dan koordinasi di level strategis. Di banyak perusahaan konvensional, CIO kerap hanya dilibatkan di akhir proses, ketika bisnis sudah memutuskan dan tinggal meminta sistem untuk menyesuaikan. Akibatnya, banyak proyek IT yang gagal karena tidak memahami kebutuhan bisnis secara menyeluruh. Dengan struktur sejajar, komunikasi antara CEO dan CIO menjadi rutin, intens, dan setara. Tidak ada lagi tembok antara "strategi bisnis" dan "eksekusi teknologi", karena keduanya dirumuskan bersama sejak awal.
Model kepemimpinan simetris ini juga menciptakan iklim kepercayaan dan tanggung jawab bersama. Dalam banyak kasus, CIO yang diperlakukan sebagai subordinat cenderung mengambil posisi defensif: takut berinovasi karena keputusan bisnis sudah final tanpa input dari sisi teknologi. Ketika posisi CIO dinaikkan ke level strategis, mereka merasa memiliki ruang untuk menyampaikan ide, menantang asumsi, dan membentuk masa depan perusahaan bersama.
Tentu, model ini bukan tanpa tantangan. Di Indonesia, budaya korporat yang masih paternalistik seringkali menghambat implementasi struktur sejajar. Ego jabatan, miskinnya literasi digital di kalangan eksekutif senior, serta ketidaksiapan CIO untuk berpikir dalam kerangka bisnis adalah hambatan nyata. Namun, semua ini bukan alasan untuk bertahan pada struktur usang. Justru, perubahan ini bisa dimulai dari keberanian satu perusahaan untuk bereksperimen dan menjadi model.
Bagi perusahaan yang sedang atau akan bergerak di bidang digital, tidak ada waktu yang lebih tepat daripada sekarang untuk merombak struktur. Jadikan CEO dan CIO sebagai dua nakhoda di kapal yang sama, bukan kapten dan anak buah. Berikan ruang diskusi strategis bersama, dan biarkan keduanya membentuk arah masa depan perusahaan. Dalam dunia yang semakin terkoneksi dan kompleks, kecepatan adaptasi dan inovasi hanya bisa dicapai jika pemikiran bisnis dan teknologi berjalan berdampingan.
Kesimpulannya sederhana: di perusahaan digital, tidak ada satu otoritas tunggal yang bisa mengklaim kebenaran strategis. Yang ada adalah kolaborasi antara kejelian melihat pasar dan kecanggihan memahami teknologi. CEO dan CIO sejajar bukan sekadar gagasan struktural, tapi pilihan strategis untuk bertahan dan tumbuh dalam dunia yang berubah. Dan bagi mereka yang berani mencobanya, hasilnya bukan hanya pertumbuhan---tetapi juga keunggulan kompetitif jangka panjang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI