Saya ingat dulu orang menonton sidang Mahkamah Konstitusi sambil mencatat.
Sekarang orang menonton sidang korupsi sambil menebak ending.
"Dapat 2 tahun atau bebas, nih?"
Ini bukan sinisme.
Ini kenyataan.
Sidang korupsi berubah jadi drama.
Kita tidak lagi menunggu keputusan hukum.
Kita menunggu momen menangis.
Menunggu sang istri bersandar ke bahu.
Menunggu jaksa tersenyum getir.
Menunggu kalimat: "Saya dizalimi."
Dan ketika vonis dibacakan---yang kadang lebih ringan dari tilang parkir sembarangan---kita geleng-geleng kepala.
Tapi tetap menonton esok hari.
Karena kita tahu, akan ada sidang lain.
Akan ada aktor lain.
Akan ada air mata yang lain.
Dan kita akan tetap duduk, mungkin sambil berkata, "Yang ini pasti lebih parah dari yang kemarin."
Saya tidak menyalahkan rakyat.
Karena siapa pun bisa lelah marah terus.
Mungkin justru karena kita sudah terlalu lama marah, akhirnya kita memutuskan untuk menertawakan semuanya.
Itu pertahanan terakhir kita sebagai bangsa:
Kita tidak bisa lagi percaya, jadi kita memilih tertawa.
Kita tidak lagi yakin pada hukum, jadi kita perlakukan dia seperti hiburan.
Dan kita tidak lagi punya harapan---kecuali pada popcorn.
Saya ingin marah.
Tapi saya tahu, besok akan ada episode baru.