Saya sedang duduk di ruang tamu ketika suara TV mendadak memanggil:
"Sidang korupsi kembali digelar hari ini."
Saya lihat layar.
Seorang pria berbaju batik, lengkap dengan peci hitam, berdiri di depan hakim.
Suaranya parau. Matanya basah.
Dan muncul subtitle: [menangis] Saya tidak bersal...
Saya belum tahu dia bersalah atau tidak.
Tapi saya tahu betul satu hal: ini bukan pertama kali saya melihat adegan seperti ini.
Dan saya langsung tertawa kecil.
Karena ini bukan berita lagi.
Ini tontonan.
Dan semua tahu: ini sinetron.
Bahkan ada yang bilang, "Episode kali ini lebih seru dari yang kemarin."
Yang menangis lebih lama.
Yang pembelanya lebih banyak.
Yang pendukungnya di luar sidang lebih ramai.
Dari dulu saya bertanya-tanya, kenapa ruang sidang di negeri ini makin mirip panggung pertunjukan.
Bukan karena meja dan kursinya berubah jadi panggung.
Tapi karena yang duduk di sana sudah seperti aktor.
Yang berdiri di sana sudah seperti presenter.
Dan yang duduk di rumah... ya kita ini... penonton tetap.
Popcorn di tangan.
Komentar di bibir.
Dan di media sosial, semua orang berubah jadi pengamat hukum.