Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penjara Bernama "Apa Kata Orang"

4 April 2025   06:06 Diperbarui: 4 April 2025   06:06 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penjara "apa kata orang". (Modifikasi dan generasi dengan Dall-E)

Indonesia adalah negara yang sangat demokratis. Demokratis dalam artian semua orang merasa berhak mencampuri hidup orang lain. Kamu pakai kaus oblong ke acara keluarga? Dicap nggak sopan. Kamu pakai batik dan terlalu rapi? Dibilang sok. Kamu laki-laki belum menikah umur 30? Siap-siap dianggap kurang laku atau terlalu pemilih. Ya, selamat datang di penjara paling halus, paling licin, dan paling menyusup: penjara opini publik.

Saya menyebutnya penjara, karena memang begitulah cara kerjanya. Ia tak tampak, tapi membelenggu. Ia tak bersuara, tapi menggema dalam kepala. Ia tidak butuh palu hakim atau pintu besi, cukup tatapan sinis, bisikan tetangga, atau komentar pedas di kolom media sosial. Sistem pengadilannya? Bukan Mahkamah Agung, tapi Mahkamah Nyinyir Nasional.

Ini semua berpangkal dari satu penyakit sosial yang akut: budaya malu. Malu bukan karena korupsi atau kekerasan, tapi karena tidak sesuai dengan "standar" moral kolektif yang terus-menerus direproduksi oleh kekuasaan: kekuasaan agama, kekuasaan adat, kekuasaan patriarki, bahkan kekuasaan algoritma media sosial.

Coba lihat, bagaimana tubuh perempuan dikontrol habis-habisan. Sedikit terbuka, kamu dianggap murahan. Terlalu tertutup, kamu dianggap fanatik. Kamu kerja, salah. Kamu jadi ibu rumah tangga, juga salah. Perempuan selalu menjadi objek ekspektasi tak berkesudahan. Sementara laki-laki? Ya... asal tidak kelihatan terlalu "lemah" atau terlalu "perempuan", mereka relatif aman. Oh ya, kecuali kamu punya pendapat politik yang tidak populer, atau berani mengkritik elit, maka bersiaplah diadili tanpa pengacara.

Penjara ini juga bersifat kelas. Kalau kamu artis atau pejabat, tindakanmu bisa dibungkus dengan narasi: "eksentrik", "berani berbeda", atau "visioner". Tapi kalau kamu rakyat jelata? Mending diam dan patuhi norma, atau hidupmu akan dihakimi di warung kopi dan forum RT.

Tapi mari kita jujur: kita semua juga bagian dari sistem ini. Kita juga pernah, sadar atau tidak, menjadi sipir penjara itu. Kita menilai, mengomentari, bahkan mengejek orang lain yang dianggap tidak sesuai standar. Saya pun tak suci dari dosa ini. Dulu saya sering mengolok-olok teman-teman pria saya yang suka pamer foto motor atau update status politik tiap hari. "Sibuk banget cari pengakuan," pikir saya. Tapi kemudian saya sadar, mungkin itu satu-satunya cara mereka merasa punya kendali atas hidup yang terus digerus tekanan ekonomi dan ekspektasi jadi "lelaki sukses". Sementara saya, duduk nyaman sambil merasa lebih tahu dari balik layar laptop dan kopi hitam.

Penjara "apa kata orang" ini juga alat politik. Lihat bagaimana isu moral sering dijadikan senjata untuk menjatuhkan lawan politik. Tiba-tiba moralitas jadi isu nasional kalau menyangkut komunitas marjinal atau juga minoritas. Tapi begitu menyangkut kekuasaan, uang rakyat, atau kekerasan negara---semua mendadak bisu. Moralitas di negeri ini lebih luwes dari plastik daur ulang. Bisa dibentuk sesuai kebutuhan.

Lalu, apakah solusinya? Apakah kita harus menjadi pembangkang total? Tidak juga. Saya tidak mengajak Anda jadi pemberontak 24 jam. Tapi saya ingin kita mulai berpikir: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari semua standar ini? Siapa yang diuntungkan saat rakyat malu bersuara? Saat minoritas takut mengekspresikan diri? Saat rakyat takut berbeda?

Kebebasan bukan berarti tanpa batas. Tapi batas itu seharusnya disusun dengan etika, bukan dengan stigma. Dengan empati, bukan dengan ejekan. Dengan kesadaran, bukan dengan tekanan sosial yang membungkam.

Maka, mari kita cabut satu-satu jeruji penjara ini. Mulai dari diri sendiri. Saat melihat orang tampil beda, tahan dulu komentar. Saat mendengar gosip tentang pilihan hidup orang lain, ganti dengan pertanyaan: "Apa urusanku, ya?" Dan jika suatu hari kamu menjadi korban Mahkamah Nyinyir Nasional, ingatlah: hidupmu bukan reality show. Kamu tak wajib memuaskan penonton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun