Dalam dunia kuliner modern, review makanan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem bisnis. Seorang food vlogger hari ini bukan sekadar seseorang yang mencicipi hidangan, tetapi juga agen perubahan sosial. Dengan satu video atau satu unggahan di media sosial, mereka bisa membangun reputasi sebuah restoran atau, sebaliknya, menguburnya dalam-dalam. Ini menarik untuk dikaji, sebab di sinilah letak ironi zaman digital: sebuah restoran yang bertahan puluhan tahun bisa hancur dalam satu menit hanya karena satu ulasan buruk.
Pertanyaannya kemudian: apakah para reviewer makanan menyadari tanggung jawab mereka? Ataukah mereka hanya sekadar mengejar klik, like, dan algoritma yang rakus? Dalam dunia filsafat, kritik terhadap sesuatu selalu berkaitan dengan kebenaran, tapi dalam dunia digital, kritik terhadap makanan lebih sering berkaitan dengan sensasi.
Dari Mana Mulai Review Makanan?
Sebelum seorang food vlogger atau penulis ulasan mengetikkan opininya, ada baiknya ia bertanya pada dirinya sendiri: "Apa tujuan saya menulis ini?" Jika tujuan utamanya adalah membantu calon pelanggan memahami pengalaman kuliner yang mereka akan hadapi, maka ini bisa disebut sebagai kritik yang produktif. Namun, jika tujuan utamanya adalah membangun kontroversi demi meningkatkan engagement, maka kita sedang masuk ke ranah yang lebih problematik.
Seorang reviewer makanan yang bertanggung jawab harus memahami bahwa makanan bukan sekadar kombinasi bumbu dan teknik memasak, tetapi juga bagian dari budaya, ekonomi, bahkan nasib seseorang. Ketika sebuah warung makan kecil menerima kritik pedas tanpa pertimbangan, maka bukan hanya rasa makanan yang dinilai, tetapi juga mata pencaharian pemiliknya yang dipertaruhkan.
Lalu, bagaimana cara mengulas makanan tanpa merugikan? Kuncinya ada pada bahasa dan perspektif.
Bahasa Memengaruhi Selera, Bukan Sebaliknya
Dalam kajian semiotika, kata-kata memiliki daya bangun dan daya hancur. Sebuah makanan yang sama bisa terasa berbeda tergantung bagaimana ia dideskripsikan. Misalnya:
- Salah:Â "Soto ini kurang kaya rasa, terlalu hambar seperti air cucian piring."
- Benar: "Soto ini memiliki rasa yang lebih ringan, cocok bagi mereka yang tidak terlalu suka bumbu kuat."
- Salah: "Sate ini kerasnya kayak sandal jepit, lebih enak digigit daripada dimakan."
- Benar: "Sate ini butuh sedikit kelembutan dalam pengolahan agar lebih nikmat."
Empat contoh kalimat ini membahas hal yang sama---kekurangan rasa---tetapi dengan dampak psikologis yang berbeda. Yang satu menghancurkan reputasi restoran, yang lain memberikan kritik membangun.
Di era digital, kita cenderung menggunakan hiperbola untuk menarik perhatian. Masalahnya, hiperbola dalam review makanan bisa menjadi pedang bermata dua. Misalnya, jika seorang vlogger mengatakan "Sate ini lebih keras dari ban truk," maka yang tertanam dalam benak audiens bukanlah kritik konstruktif, melainkan citra negatif yang sulit dihapus.
Jadi, seorang reviewer yang baik harus mampu mengontrol bahasa. Jujur itu penting, tetapi jujur yang bijaksana lebih penting lagi.
Selera Itu Subjektif, Tapi Dampaknya Objektif
Perdebatan soal makanan selalu melibatkan subjektivitas. Satu orang bisa menganggap nasi goreng di warung A paling enak, sementara orang lain merasa itu biasa saja. Masalahnya, ketika seorang influencer mengeluarkan opini, subjektivitasnya bisa berubah menjadi "kebenaran sosial" yang dipercayai banyak orang.