Krisis Kreativitas dalam Pengajaran di Perguruan Tinggi
Di banyak ruang kuliah, kita tidak menemukan pusat intelektual yang dinamis, melainkan hanya versi manusia dari mesin fotokopi: dosen yang sekadar mendiktekan materi tanpa inovasi, tanpa kreativitas, dan tanpa gairah untuk menghidupkan pemikiran mahasiswa. Ini adalah penyakit kronis yang menjangkiti dunia pendidikan tinggi, sebuah sindrom stagnasi akademik yang secara perlahan membunuh semangat berpikir kritis mahasiswa.
Monotonisme Akademik: Memproduksi Robot, Bukan Pemikir
Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) menggambarkan metode pengajaran tradisional sebagai "pendidikan gaya bank," di mana mahasiswa hanya dianggap sebagai wadah kosong yang harus diisi dengan informasi. Tidak ada dialog, tidak ada eksplorasi, hanya transfer informasi satu arah dari dosen ke mahasiswa. Model ini gagal total dalam membangun pemikiran kritis dan kreativitas, dua elemen yang seharusnya menjadi esensi pendidikan tinggi.
Bagaimana mahasiswa bisa berpikir inovatif jika setiap kelas hanya berisi slide PowerPoint yang dibacakan tanpa elaborasi? Bagaimana mereka bisa menggali pemahaman mendalam jika diskusi kelas hanya sekadar ajang pencocokan jawaban dengan buku teks? Sistem ini telah melahirkan generasi yang lebih pandai menghafal ketimbang memahami, lebih mahir menyalin daripada menganalisis.
Dosen sebagai Otoritas Mutlak: Ketika Kelas Menjadi Teater Monolog
Salah satu akar masalah adalah cara pandang banyak dosen yang melihat diri mereka sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang sah. Konsep teacher-centered learning yang masih dominan di banyak perguruan tinggi mencerminkan otoritarianisme akademik yang membelenggu mahasiswa. John Dewey, filsuf pendidikan progresif, menekankan pentingnya experiential learning, yaitu pembelajaran berbasis pengalaman yang melibatkan interaksi aktif antara mahasiswa dan dosen. Namun, dalam kenyataannya, banyak dosen yang masih menganggap diskusi sebagai ancaman terhadap otoritas mereka, bukan sebagai alat untuk memperkaya pemahaman.
Ketika mahasiswa mencoba mempertanyakan suatu teori atau menawarkan sudut pandang baru, sering kali mereka dihadapkan pada respons defensif atau bahkan diremehkan. Hal ini hanya memperkuat budaya akademik yang membungkam kreativitas dan mempertahankan status quo intelektual yang basi.
Mengajar dengan Metode Kuno di Era Digital
Krisis kreativitas ini semakin ironis jika kita melihat konteks zaman. Kita hidup di era digital dengan akses informasi tanpa batas, tetapi di banyak ruang kelas, metode pengajaran masih seperti tahun 1950-an. Kenapa masih ada dosen yang tidak memanfaatkan teknologi seperti simulasi, studi kasus interaktif, atau metode pembelajaran berbasis proyek? Kenapa masih ada yang beranggapan bahwa menulis di papan tulis dengan kapur adalah satu-satunya cara untuk menjelaskan konsep kompleks?
Menurut teori Constructivism dari Piaget dan Vygotsky, pembelajaran yang efektif terjadi ketika mahasiswa terlibat aktif dalam membangun pemahamannya sendiri melalui pengalaman dan interaksi sosial. Sayangnya, sebagian besar dosen tetap bertahan dalam paradigma lama, membiarkan mahasiswa pasif dan hanya menjadi penonton di dalam kelas mereka sendiri.
Revolusi Pedagogi: Saatnya Dosen Berbenah
Jika kita serius ingin memperbaiki sistem pendidikan tinggi, maka kita harus mulai dengan membongkar kebiasaan-kebiasaan usang dalam dunia pengajaran. Dosen harus memahami bahwa mengajar bukan sekadar menyampaikan materi, tetapi menciptakan pengalaman belajar yang menggugah pemikiran dan kreativitas mahasiswa.
Beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan antara lain: