Panas matahari Surabaya siang itu terasa menyengat, sementara lalu lintas di depan sudah tampak seperti labirin penuh jebakan. Saya, dengan motor tua kesayangan, sedang berusaha mencari jalan tercepat untuk mencapai tujuan yang sebenarnya tidak jauh---hanya sekitar 200 meter dari tempat saya berdiri.
Namun, ada satu masalah. Jalan itu adalah jalur satu arah, dan saya sedang berada di sisi yang salah. Jika saya harus mengikuti aturan, saya harus memutar jauh sejauh 2 kilometer, melewati persimpangan dengan lampu merah yang terkenal "kejam" karena durasinya panjang sekali.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya memutuskan untuk turun dari motor dan menuntunnya perlahan. Logika saya sederhana: "Kan saya nggak naik motor, jadi ini nggak melawan arus, kan?"
Baru beberapa langkah saya menuntun motor, seorang polisi yang sedang berjaga di ujung jalan menghampiri. Beliau berdiri dengan tegas sambil melambaikan tangan, menyuruh saya berhenti.
"Bapak mau ke mana?" tanyanya dengan nada yang jelas-jelas menunjukkan bahwa ia sudah tahu jawabannya.
"Saya cuma mau ke depan itu, Pak. Dekat sekali. Lagipula, saya nggak naik motor, cuma menuntun," jawab saya, mencoba terdengar sesopan mungkin.
Polisi itu menghela napas panjang, lalu menatap saya dengan tajam. "Bapak tahu ini melawan arus, kan? Baik naik motor atau menuntun motor, tetap saja salah!"
Saya terdiam, mencoba mencari pembelaan. "Tapi, Pak, kalau saya harus muter jauh sekali. Dua kilometer, belum lagi lampu merah..."
"Ah, semua orang punya alasan, Pak. Kalau semua pakai logika Bapak, nanti jalannya jadi kacau!" Nada suaranya mulai meninggi.
Saya hanya bisa tersenyum kaku, berharap belas kasihannya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, pak polisi akhirnya mengangguk.