Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dicari Guru Ideal!

25 November 2023   06:29 Diperbarui: 25 November 2023   09:24 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Teaching is not a profession; it's a passion. Without your passion and dedication, our children's future would resemble a sunset instead of a sunrise. Your days are long and often difficult. Thrive on your passion, and enhance our world's tomorrow." - Linda A. Podojil

Standar Idealisme dalam Profesi Guru

Profesi guru sering dianggap sebagai profesi yang paling idealistik. Masyarakat memiliki kecenderungan untuk melihat guru tidak hanya sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai pembentuk karakter dan garda depan generasi yang akan datang. Pernyataan Linda A. Podojil bahwa mengajar bukan hanya sebuah profesi tetapi juga "gairah" membuka mata kita tentang pentingnya gairah dalam pendidikan. Namun, ada masalah serius ketika membahas perlunya guru memenuhi standar sempurna.

Pertama-tama, penting untuk mengakui bahwa setiap profesi memiliki standar kualitas yang harus dipenuhi. Hal ini berlaku juga untuk profesi guru. Namun, idealisme masyarakat mengenai standar untuk guru seringkali bersifat mutlak, di mana mereka diharapkan memiliki nilai sempurna 100. Menurut University of the People (https://www.uopeople.edu/blog/what-are-the-10-qualities-of-a-good-teacher/), disebutkan bahwa ada sepuluh kualitas yang seorang guru yang baik harus miliki. Kualitas-kualitas ini meliputi keterampilan komunikasi yang efektif, pemahaman yang mendalam terhadap mata pelajaran yang diajarkan, dan kemampuan untuk menginspirasi dan mendorong siswa. Namun, apakah standar yang begitu tinggi ini realistis dan adil?

Dalam praktiknya, guru menghadapi berbagai tantangan dan keterbatasan. Mereka harus beradaptasi dengan latar belakang siswa yang beragam, memenuhi beragam kebutuhan pendidikan, dan seringkali bekerja dengan sumber daya yang terbatas. Tuntutan untuk mencapai standar sempurna bisa menjadi beban yang sangat berat. Hal ini bukan berarti kita harus mengabaikan kualitas, tetapi kita perlu bersikap realistis dalam menetapkan standar. Harus ada ruang untuk pertumbuhan dan pembelajaran, bukan hanya mengandalkan penilaian mutlak terhadap kompetensi seorang guru.

Selain itu, pendekatan mutlak dalam menilai guru mungkin mengabaikan aspek penting lain dalam keguruan, seperti gairah dan dedikasi. Seperti yang diungkapkan Podojil, keguruan adalah tentang gairah. Guru yang berdedikasi dan bersemangat memiliki kemampuan untuk memberikan dampak besar dalam kehidupan siswa mereka, meskipun mungkin tidak sempurna dalam setiap aspek teknis keguruan.

Mengharapkan guru selalu memiliki nilai 100 adalah tidak realistis dan bahkan kontraproduktif. Kita seharusnya menghargai usaha, dedikasi, dan perbaikan yang terus-menerus ditunjukkan oleh guru, bukan hanya mengejar kesempurnaan yang tidak dapat dicapai. Dengan cara ini, kita tidak hanya memberikan ruang bagi guru untuk tumbuh dan berkembang, tetapi juga membangun sistem pendidikan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Realitas di Lapangan dan Tantangan yang Dihadapi Guru

Melanjutkan diskusi tentang standar idealisme dalam profesi guru, kita harus menyadari realitas yang dihadapi oleh guru di lapangan. Guru-guru kita beroperasi dalam lingkungan yang seringkali jauh dari ideal. Mereka menghadapi kelas yang penuh, kekurangan sumber daya, dan tekanan eksternal yang tidak terkait langsung dengan keguruan.

Dalam konteks ini, mengejar standar mutlak 100 menjadi semakin tidak realistis. Banyak guru yang menghadapi tantangan yang tidak terlihat oleh masyarakat luas. Sebagai contoh, seorang guru di daerah terpencil mungkin harus mengatasi keterbatasan sumber daya sambil berusaha memberikan pendidikan berkualitas. Di sisi lain, guru di kota besar mungkin menghadapi tantangan terkait dengan keragaman budaya dan latar belakang sosial siswa mereka. Setiap konteks ini memerlukan pendekatan yang berbeda dan keterampilan khusus.

Tantangan lain adalah perubahan kebijakan pendidikan yang sering terjadi dan tekanan untuk mencapai target kuantitatif, seperti skor ujian. Kebijakan-kebijakan ini kadang-kadang lebih mengutamakan hasil jangka pendek daripada pembelajaran mendalam dan perkembangan holistik siswa. Guru, dalam situasi seperti ini, sering kali terjebak antara memenuhi tuntutan kebijakan dan kebutuhan nyata siswa mereka.

Selain itu, peran guru telah berkembang jauh melampaui hanya mengajar. Mereka menjadi mentor, konselor, dan bahkan figur orang tua bagi banyak siswa. Mereka diharapkan tidak hanya mengajar mata pelajaran, tetapi juga membantu siswa mengembangkan keterampilan hidup dan karakter. Tugas ini jauh lebih kompleks dan nuansanya jauh lebih dalam daripada yang dapat diukur dengan standar kuantitatif.

Oleh karena itu, saat menilai kompetensi guru, penting untuk mengakui kompleksitas peran mereka dan tantangan yang mereka hadapi. Kita perlu menghargai usaha yang mereka lakukan dalam menghadapi situasi yang seringkali tidak ideal. Sebagai masyarakat, kita harus mendukung guru, memberikan mereka sumber daya yang mereka butuhkan, dan mengakui bahwa kesempurnaan bukanlah tujuan yang realistis atau bahkan yang paling penting.

Standar kualitas tetap penting, tetapi harus disesuaikan dengan konteks nyata keguruan dan pembelajaran. Harus ada keseimbangan antara mencari kualitas dan mengakui keterbatasan serta tantangan yang dihadapi guru. Dengan demikian, kita tidak hanya memberikan ruang bagi pertumbuhan mereka, tetapi juga menciptakan sistem pendidikan yang lebih adil dan efektif.

Menuju Paradigma Baru dalam Penilaian Kinerja Guru

Dalam dua bagian sebelumnya, kita telah membahas tantangan realistis dalam profesi guru dan bagaimana standar idealisme seringkali tidak sesuai dengan realitas. Bagian ketiga ini akan menjelaskan bagaimana kita seharusnya menilai kinerja guru dengan paradigma baru yang lebih adil dan efektif.

Pertama-tama, harus ada pengakuan bahwa keguruan adalah proses yang kompleks dan dinamis. Ini berarti bahwa penilaian terhadap guru harus mencakup berbagai aspek, bukan hanya berdasarkan hasil tes atau pencapaian akademik siswa. Kita harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti kemampuan guru untuk beradaptasi dengan kebutuhan individu siswa, kreativitas dalam mengajar, dan kemampuan untuk menciptakan lingkungan kelas yang positif dan mendukung.

Kedua, sistem penilaian harus mengakui bahwa pembelajaran adalah proses berkelanjutan. Ini berarti bahwa guru harus diberi kesempatan untuk berkembang profesional. Sistem penilaian yang efektif harus mencakup umpan balik yang konstruktif dan sumber daya untuk pengembangan profesional, seperti pelatihan dan workshop. Dengan cara ini, penilaian menjadi alat untuk pertumbuhan bukan sekadar pengukuran kinerja.

Ketiga, harus ada keterlibatan komunitas dalam proses penilaian. Orang tua, siswa, dan anggota masyarakat lainnya harus memiliki suara dalam menilai kinerja guru. Ini akan menciptakan sistem penilaian yang lebih holistik dan mencerminkan berbagai sudut pandang.

Terakhir, kita harus mengakui bahwa tidak semua guru akan sempurna, dan itu tidak masalah. Yang penting adalah komitmen untuk pembelajaran dan peningkatan berkelanjutan. Kita harus menghargai usaha dan dedikasi, bukan hanya hasil akhir.

Paradigma baru ini tidak hanya lebih adil bagi guru, tetapi juga lebih bermanfaat bagi siswa. Dengan fokus pada pengembangan holistik dan berkelanjutan, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih mendukung, di mana guru merasa dihargai, dan siswa mendapatkan pengalaman belajar yang kaya dan bermakna.

Mengubah cara kita menilai guru adalah langkah penting untuk memastikan bahwa sistem pendidikan kita tidak hanya menghasilkan nilai ujian yang tinggi, tetapi juga siswa yang siap menghadapi tantangan di masa depan. Ini adalah investasi penting untuk masa depan kita.

*Penulis adalah mantan guru tahun 1990-1998 *

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun