Hal itu terjadi, akibat sawah disepanjang irigasi buatan Belanda kekurangan air, beberapa hari kemudian tanahnya merekah dan padi yang sudah ditanam mati kering.Â
Penyebabnya ternyata sungai buatan itu, mengalirkan air rawa-rawa, sehingga bukan hanya rawa-rawa itu kekeringan, tapi dipersawahan sepanjang irigasi peninggalan Belanda ikut kekeringan.
H. Amiludin (79) tokoh masyarakat Tanabang Ilir mengatakan, irigasi peninggalan Belanda itu berlokasi diwilayah Desa Tanabang Ulu, Tanabang Ilir, eks Trans Sp 1 dan Trans Sp 2, Kecamatan Muarakuang.
Sejak sungai buatan selesai dibangun, bukan hanya hasil pertanian acap kali gagal, tapi pendapatan petani dari ikan yang dihasilkan dari Lebung (sejenis Embung) setiap tahun antara 2-3 ton, juga sirna.
Ini semua akibat sungai buatan, menyedot pula endapan air sawah petani disepanjang irigasi yang berjarak sekitar 1 km dari sungai buatan.
Sebelum dibangun sungai buatan, areal sawah yang ada tidak pernah kering airnya. Sebab  peran rawa-rawa itu sebenarnya penahan resapan air.
Buktinya walau musim kemarau panjang, tanaman padi dikawasan ini tidak pernah mati kering seperti sekarang.
Kepala Desa Tanabang Ulu dan Tanabang Ilir, kala itu dijabat  Kazomi dan Herkusnadi, kata Haji Amiludin, pernah saya tanya kenapa pembangunan sungai buatan tersebut tidak dimusyawarahkan dengan rakyat.
Pemilik proyek dan perencana proyek saya akui mereka berpendidikan tinggi dan berpengalaman
Tapi kami yang keseharian beradap tasi dikawasan Irigasi peninggalan Belanda, mengetahui betul kondisinya.
Seharusnya pemilik atau perencana proyek membuat analisa dampak lingkungan (AMDAL), kalau dibangun sungai, apa pengaruhnya terhadap lingkungan sekitar.