Mohon tunggu...
Syaefunnur Maszah
Syaefunnur Maszah Mohon Tunggu... Senior Human Capital Strategist, Sekjen Parsindo, Wakil Ketua Peradi DPC

Concern pada masalah sosial kebangsaan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Luka di Balik Euforia Kebebasan Tahanan Palestina

14 Oktober 2025   05:51 Diperbarui: 14 Oktober 2025   05:51 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tangis bahagia dan sorak-sorai menggema di Ramallah dan Khan Younis ketika ratusan warga Palestina akhirnya kembali menghirup udara bebas. Mereka adalah para tahanan yang dibebaskan oleh Israel setelah bertahun-tahun mendekam di balik jeruji. Namun, di balik perayaan yang penuh emosi itu, tersimpan kisah getir tentang penderitaan, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang masih membayangi rakyat Palestina.

Sekitar 250 tahanan yang divonis dalam berbagai kasus, termasuk tuduhan pembunuhan dan serangan terhadap warga Israel, serta 1.700 warga Gaza yang ditahan tanpa dakwaan, dilepaskan sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran dengan Hamas. Dari Gaza hingga Tepi Barat, keluarga menunggu dengan haru, beberapa membawa foto, sebagian lain hanya berdoa agar wajah yang lama tak mereka lihat benar-benar kembali dalam keadaan hidup.

Menurut artikel BBC News (13 Oktober 2025) berjudul "Palestinians celebrate return of detainees freed by Israel" yang ditulis oleh Tom Bennett dari Ramallah, Tepi Barat, suasana penyambutan berlangsung penuh emosi. Para tahanan tampak lemah dan kurus; sebagian berjalan terpincang. Di antara pelukan keluarga dan tangisan bahagia, terselip cerita pahit tentang kondisi penahanan yang tidak manusiawi.

Beberapa tenaga medis dan anggota keluarga menyebut bahwa para tahanan mengalami pemukulan beberapa hari sebelum pembebasan. Mahkamah Agung Israel bulan lalu menyatakan bahwa tahanan Palestina memang tidak mendapat makanan yang cukup, dan laporan sebelumnya dari media yang sama juga menyingkap adanya penyiksaan terhadap warga Palestina di dalam tahanan Israel.

Aya Shreiteh (26 tahun) dari Palestinian Prisoners Club menegaskan, "Hak-hak mereka dilanggar dengan cara yang paling serius. Sebagian besar tahanan dalam setahun terakhir mengalami kelaparan yang disengaja dan paparan penyakit. Tubuh mereka lemah dari kelaparan dan menderita akibat pemukulan." Ucapannya menggambarkan luka kolektif yang dirasakan banyak keluarga Palestina --- kebebasan diraih dengan tubuh yang nyaris tak lagi utuh.

Di sisi lain, ada kehangatan yang tak bisa ditutupi. Seorang ayah, Muhammad Hasan Saeed Dawood (50 tahun), menyebut hari itu sebagai "hari kebangsaan" bagi Palestina. "Kami menyebutnya hari raya nasional, hari pembebasan para tahanan kami, meski biayanya adalah perang, syuhada, dan kehancuran di Gaza," katanya kepada BBC. Suaranya mencerminkan perpaduan antara kebanggaan dan duka mendalam.

Pembebasan tahanan ini merupakan bagian dari fase pertama rencana perdamaian Donald Trump, yang menandai dimulainya gencatan senjata setelah dua tahun perang dahsyat. Serangan balasan Israel sejak Oktober 2023 telah menewaskan lebih dari 67.682 warga Palestina, menurut Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas. Angka ini menegaskan bahwa apa yang disebut "perdamaian" masih dibayar dengan nyawa ribuan rakyat sipil.

Dari perspektif kemanusiaan, kisah ini bukan sekadar pertukaran sandera dan tahanan, melainkan gambaran dari kontradiksi moral: di satu sisi, kebebasan disambut dengan sorak; di sisi lain, sistem yang menindas tetap berjalan. Teori kekerasan struktural dari Johan Galtung menjelaskan hal ini dengan tepat: kekerasan bukan hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga ketika struktur sosial dan politik suatu kekuasaan secara sistematis meniadakan kebutuhan dasar manusia. Dalam konteks Palestina, pendudukan, blokade, dan perlakuan terhadap tahanan adalah bentuk nyata kekerasan struktural itu.

Dalam ranah politik, pembebasan ini seolah menjadi "tanda goodwill" Israel di tengah tekanan global untuk mengakhiri perang. Namun, di mata rakyat Palestina, tindakan ini belum cukup untuk menandakan perubahan nyata. Amro Abdullah (24 tahun) yang menanti sepupunya, Rashid Omar, yang telah dipenjara sejak 2005, mengatakan sederhana, "Saya ingin hidup damai, aman, tanpa pendudukan." Sebuah kalimat yang menggema sebagai jeritan generasi yang tak lagi ingin hidup di bawah penjajahan.

Hubungan Palestina--Israel masih rapuh. Pembebasan ratusan tahanan bukan jaminan atas perdamaian yang berkelanjutan. Sebab, selama pendudukan dan penahanan sewenang-wenang terus terjadi, setiap kesepakatan hanya menjadi jeda di antara babak kekerasan berikutnya. Dunia internasional, termasuk Amerika Serikat yang kini berperan dalam "rencana perdamaian Trump", ditantang untuk memastikan bahwa perdamaian bukan hanya alat politik, melainkan juga penegakan nilai kemanusiaan universal.

Dari sisi sosial, pembebasan ini menimbulkan harapan baru bagi keluarga yang selama bertahun-tahun hidup dalam kehilangan. Namun, ada trauma yang panjang. Para mantan tahanan kembali ke masyarakat yang hancur oleh perang, kehilangan pekerjaan, dan mengalami dampak psikologis berat. Tanpa pemulihan dan jaminan hak asasi, kebebasan mereka masih semu --- sekadar berpindah dari penjara berdinding beton ke "penjara terbuka" bernama pendudukan.

Ke depan, komitmen Israel untuk benar-benar mengakhiri pendudukannya akan menjadi ujian moral di mata dunia. Selama struktur ketidakadilan itu belum dihapus, tangisan bahagia para keluarga di Ramallah hanya akan menjadi catatan sementara dalam sejarah panjang perjuangan Palestina. Dunia boleh bersorak atas gencatan senjata, tapi rakyat Palestina tahu: kebebasan sejati belum benar-benar mereka rasakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun