Sementara itu, dari sisi Israel, tekanan publik semakin besar. Ribuan warga melakukan demonstrasi di Tel Aviv menuntut pembebasan sandera dan diakhirinya perang. Para pejabat Israel, menurut Haaretz, "berhati-hati namun optimistis." Di sisi lain, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menghadapi dilema politik antara memenuhi desakan publik dan mempertahankan dukungan kelompok sayap kanan di kabinetnya.
Dari sudut pandang Palestina, terutama rakyat Gaza, setiap langkah menuju gencatan senjata bukan sekadar isu diplomatik---tetapi pertaruhan hidup dan mati. Seorang pejabat Hamas mengatakan kepada BBC, "semangat optimisme mulai menyebar di antara semua peserta." Kalimat itu terdengar sederhana, tetapi mencerminkan harapan masyarakat yang selama dua tahun hidup di bawah bayang-bayang kehancuran.
Jika kesepakatan benar-benar terwujud, maka rencana perdamaian 20 poin ala Trump ini bisa menjadi tonggak baru. Meski banyak yang skeptis terhadap gaya negosiasinya yang keras, Trump berhasil memanfaatkan keletihan perang kedua belah pihak untuk membuka ruang kompromi. Di tengah dunia yang jenuh dengan konflik, langkah ini---betapapun kontroversial---dapat menjadi awal rekonstruksi politik Timur Tengah yang lebih seimbang.
Akhirnya, dari perspektif kemanusiaan, pembicaraan ini bukan semata tentang peta politik atau pengaruh Amerika Serikat. Ini tentang harapan bagi anak-anak Gaza untuk hidup tanpa dentuman bom, tentang keluarga Israel yang menanti kepulangan sandera mereka, dan tentang dunia yang rindu mendengar kata "damai" bukan sebagai jargon diplomatik, melainkan sebagai kenyataan. Jika benar perdamaian sudah "sangat dekat", seperti kata Trump, maka dunia pantas berharap bahwa kali ini pintu itu benar-benar terbuka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI