Mohon tunggu...
Syaefunnur Maszah
Syaefunnur Maszah Mohon Tunggu... Senior Human Capital Strategist, Sekjen Parsindo, Wakil Ketua Peradi DPC

Concern pada masalah sosial kebangsaan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Legitimasi Etis-Moral dalam Politik

26 September 2025   13:46 Diperbarui: 26 September 2025   13:46 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Politisi mengelola negara. (Poto: History in HD, under the Unsplash License)

Dalam praktik politik modern, demokrasi kerap dipahami sebatas mekanisme prosedural: pemilu, rotasi kekuasaan, dan partisipasi warga. Namun, inti demokrasi tidak akan sehat bila hanya berhenti pada prosedur. Demokrasi membutuhkan legitimasi etis-moral agar mampu melahirkan praktik politik yang bermartabat. Tanpa fondasi moral, politik cenderung jatuh ke dalam manipulasi, kooptasi, bahkan tirani mayoritas.

Politik yang kehilangan dimensi moral mudah tergelincir menjadi sekadar perebutan kursi dan kekuasaan. Padahal, demokrasi ideal adalah ruang bagi terciptanya kesejahteraan, keadilan, dan kebebasan yang dilandasi tanggung jawab. Maka, etika dan moral bukan sekadar aksesori, melainkan roh yang menjaga agar politik tidak kehilangan arah.

Dalam perspektif agama, legitimasi politik justru bertumpu pada etika. Ajaran-ajaran agama, termasuk Islam, Kristen, dan lainnya menekankan pentingnya kejujuran, keadilan, dan amanah dalam kepemimpinan. Agama menjadi sumber etik moral yang dapat mengoreksi praktik politik yang menyimpang. Tanpa nilai itu, demokrasi bisa kosong dan rapuh meskipun tampak semarak secara prosedural.

Filosof klasik Yunani, Aristoteles, menegaskan bahwa politik adalah seni tertinggi karena bertujuan mengarahkan manusia pada "kebaikan hidup bersama." Pandangan ini menempatkan moralitas sebagai bagian integral dari politik. Politik, dengan demikian, bukan sekadar teknik mengatur, melainkan jalan menuju kehidupan yang berkeadilan dan bermakna.

Dalam khazanah Islam, Al-Farabi dikenal dengan gagasan "al-Madinah al-Fadilah" atau negara utama. Baginya, politik harus diarahkan untuk mencapai kebahagiaan sejati, yang tidak mungkin hadir tanpa dasar moral dan etika. Pemimpin, menurut Al-Farabi, tidak hanya berfungsi administratif, tetapi juga sebagai teladan moral bagi rakyatnya.

Dari perspektif ilmu politik kontemporer, Robert A. Dahl dengan teorinya "polyarchy" menekankan bahwa demokrasi sejati menuntut lebih dari sekadar kompetisi elektoral. Demokrasi mensyaratkan keterbukaan, partisipasi luas, dan jaminan kebebasan sipil. Namun, nilai-nilai ini tidak dapat berjalan tanpa dukungan legitimasi moral yang menumbuhkan kepercayaan publik.

Mengambil contoh dari dunia internasional, negara Skandinavia seperti Norwegia menunjukkan keberhasilan memadukan demokrasi prosedural dengan etika politik. Transparansi, akuntabilitas, dan budaya kepercayaan tinggi menjadi pilar keberhasilan politik mereka. Korupsi relatif rendah karena etika publik dijaga bersama sebagai norma moral yang mengikat. Tingkat kepercayaan publik di Norwegia terhadap institusi dipandang sangat tinggi. Menurut laporan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) "Government at a Glance 2023: Norway”, sekitar 64 % warga mempercayai pemerintah nasional, 53 % mempercayai pemerintah lokal, dan 61 % mempercayai pelayanan sipil. OECD juga menyebut bahwa kepercayaan terhadap lembaga seperti pengadilan dan kepolisian sangat tinggi; serta institusi publik memiliki integritas yang cukup baik.

Sementara itu, di dunia Muslim, Tunisia pascarevolusi 2011 menjadi salah satu contoh menarik. Meski kini sedang diuji menghadapi tantangan besar, proses demokratisasi Tunisia mendapat apresiasi karena partai-partai politiknya berupaya mencari titik temu berbasis nilai moral dan agama. Dialog dan kompromi politik yang etis memungkinkan transisi lebih damai dibandingkan negara Arab lain. Menurut data dari StatBase / EIU (Economist Intelligence Unit), nilai demokrasi Tunisia mulai menurun setelah beberapa tahun pertumbuhan sejak Arab Spring. Contoh: nilai demokrasi Tunisia pada 2023 adalah sekitar 5,51, sedangkan 2024 turun ke sekitar 4,71 dari skala maksimal 10.

Kedua contoh ini menunjukkan bahwa legitimasi etis-moral menjadi faktor pembeda. Negara dengan basis moral kuat mampu menumbuhkan kepercayaan sosial yang melanggengkan demokrasi. Sebaliknya, negara yang hanya mengandalkan prosedur tanpa etika mudah terjerumus dalam krisis politik, konflik, atau bahkan otoritarianisme terselubung.

Contoh praktik yang abai nilai dapat kita lihat di Venezuela. Negara itu secara prosedural masih menggelar pemilu, namun praktik politiknya kerap diwarnai manipulasi, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Abainya etika moral dalam kepemimpinan membuat demokrasi hanya menjadi topeng legitimasi rezim. Akibatnya, rakyat terjerumus dalam krisis ekonomi berkepanjangan, inflasi melambung, dan eksodus besar-besaran. Demokrasi yang kehilangan dasar moral terbukti membawa penderitaan nyata bagi masyarakat, alih-alih kesejahteraan. Data dari Varieties of Democracy (V-Dem) memperlihatkan bahwa demokrasi liberal dan partisipatif di Venezuela berada pada tingkat yang sangat rendah; indeks-korupsi juga buruk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun