Di tengah sorotan publik terhadap kinerja dan integritas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), muncul satu gagasan yang layak direnungkan: urgensi etika tauhid sebagai dasar pijakan moral wakil rakyat. Tauhid tidak sekadar keyakinan teologis tentang keesaan Allah, tetapi juga cara pandang etis yang meneguhkan bahwa segala kekuasaan hanyalah titipan. Bagi seorang anggota DPR, tauhid dapat menjadi fondasi untuk menunaikan amanah dengan rendah hati, transparan, dan berpihak pada rakyat.
Etika tauhid bisa dipahami sebagai sintesis antara ajaran Islam dan kebutuhan etika politik modern. Dalam perspektif ini, wakil rakyat tidak hanya berhadapan dengan konstituen, tetapi juga dengan Sang Pencipta yang akan meminta pertanggungjawaban atas setiap keputusan. Seorang ulama besar, Imam al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin menekankan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang jika dijalankan tanpa keadilan justru berubah menjadi bencana. Pandangan klasik ini bisa disandingkan dengan teori Max Weber tentang ethic of responsibility, yang menegaskan bahwa seorang pemimpin harus menimbang konsekuensi setiap tindakan bagi masyarakat luas. Jika keduanya dipadukan, etika tauhid memberikan energi spiritual, sementara etika tanggung jawab Weber memberi kerangka praktis bagi wakil rakyat.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menegaskan tiga fungsi utama DPR: legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya menempatkan anggota DPR sebagai aktor sentral dalam kehidupan bernegara. Legislasi menuntut keberpihakan pada kepentingan rakyat, bukan pada segelintir elit. Penganggaran menuntut transparansi agar uang negara digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Pengawasan menuntut keberanian moral untuk mengoreksi jalannya pemerintahan. Jika fungsi ini dijalankan dengan basis etika tauhid, DPR akan lebih dekat pada idealisme kedaulatan rakyat yang sesungguhnya.
Filosofi wakil rakyat sendiri amat jelas. Mereka dipilih melalui mekanisme demokrasi dan digaji negara bukan sebagai bentuk privilese, melainkan konsekuensi dari mandat rakyat. Dalam etika tauhid, gaji itu tidak dilihat sebagai hak untuk dinikmati semata, melainkan sebagai pengingat bahwa ada amanah besar yang harus ditebus dengan kerja keras, keberanian moral, dan dedikasi.
Sayangnya, realitas sering berlawanan dengan idealitas. Publik masih sering mengeluhkan etika buruk sebagian anggota DPR. Pertama, arogansi politik, ketika wakil rakyat terlihat lebih sibuk dengan kepentingan partai atau kelompoknya dibanding mendengar suara rakyat. Kedua, gaya hidup berlebihan atau flexing yang mencolok di ruang publik, memperlebar jarak psikologis dengan konstituen. Ketiga, praktik korupsi yang terus menghantui, meruntuhkan wibawa DPR sebagai lembaga terhormat. Keempat, ketidakhadiran dalam sidang yang menunjukkan kurangnya keseriusan dalam menjalankan amanah.
Di luar itu, ada dua hal yang tak kalah serius. Kelima, kurang kritis dalam menanggapi dinamika kebangsaan. Banyak anggota DPR yang seolah kehilangan sensitivitas terhadap isu strategis, padahal mereka memiliki fungsi kontrol. Keenam, kurang responsif terhadap aspirasi rakyat yang berkembang cepat di era digital, sehingga DPR kerap dianggap lamban beradaptasi. Semua ini mengikis legitimasi DPR di mata rakyat.
Implikasi dari buruknya etika ini sangat jelas: melemahnya kepercayaan rakyat terhadap DPR. Perspektif publik yang berkembang menunjukkan DPR masih sering dipersepsikan negatif dibanding lembaga negara lain. Padahal, DPR seharusnya menjadi simbol keterhubungan antara rakyat dan negara. Ketika etika tidak dijaga, jarak kepercayaan itu semakin melebar.
Namun, etika tauhid dapat menghadirkan jalan lain. Jika dijadikan pedoman, etika tauhid akan mendorong anggota DPR untuk selalu menimbang setiap keputusan sebagai bentuk ibadah. Kerendahan hati akan mendorong mereka mendengar rakyat lebih banyak. Keberanian moral akan meneguhkan sikap independen dalam mengawasi pemerintah. Transparansi akan membangun kepercayaan yang lebih kokoh.
Belajar dari negara maju, banyak contoh yang relevan. Di Norwegia, anggota parlemen menggunakan transportasi umum dalam aktivitas sehari-hari, mencerminkan kedekatan dengan rakyat dan sikap sederhana. Di Jepang, tradisi mundur dari jabatan ketika gagal menjalankan tugas atau tersandung masalah etik menjadi bukti adanya tanggung jawab moral yang kuat. Dua praktik ini menunjukkan bahwa etika politik yang luhur bisa hadir di mana saja, meski tidak selalu dengan istilah tauhid.
Learning point yang bisa dipetik untuk DPR Indonesia adalah pentingnya menampilkan integritas dan kesederhanaan. Rakyat tidak membutuhkan wakil yang berjarak, melainkan yang mau hidup bersama mereka, mendengar keluh kesah mereka, dan mengambil keputusan demi kepentingan mereka. Kesederhanaan bukan hanya simbol moral, tetapi juga strategi politik yang efektif untuk mengembalikan kepercayaan.