Mohon tunggu...
swastika rahmadhani
swastika rahmadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - S1 Mahasiswa Fakultas Hukum

hobi saya membaca novel dengan genre fiksi dan kriminal, selalu suka membuat brownies. Mempunyai karakter yang periang dan keingin tahuan yang tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Mempelajari Tentang Pengertian Khulu', Hukum, dan Iwad

8 Mei 2024   20:00 Diperbarui: 8 Mei 2024   20:11 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Dalam hal perceraian pernikahan islam terdapat Khulu', yaitu perceraian antara suami-istri dengan harta kompensasi yang diberikan istri kepada suami. Khulu' bisa disebut juga dengan fidyah atau tebusan, karena istri meminta cerai kepada suaminya dengan membayar sejumlah tebusan kepada suaminya sebagai kompensasi agar suami menceraikannya. Bagaimana pun, dengan kata lain khulu' merupakan hak seorang istri untuk dapat mengajukan perceraian pada suaminya, dengan syarat membayar sejumlah tebusan kepada suami.

Dasar hukum mengenai khulu' ada pada dalam Q.S. Al-Baqarah (2: 229) dengan arti "Talak (yang dapaat dirujuk) itu dua kali. (setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu yang mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. 

Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim"

Quraish Shihab memberikan komentar terhadap ayat Al-Baqarah (2:229) dengan menyatakan bahwa suami dapat mengalami kerugian ganda jika istrinya melakukan pelanggaran atau kedurhakaan terhadap Allah SWT dan suaminya. Kerugian pertama adalah hilangnya ketenangan, yang seharusnya menjadi tujuan utama dalam kehidupan rumah tangga, dan kerugian kedua ialah kehilangan mas kawin dan uang belanja yang telah diberikan selama pernikahan. 

Jika istri tidak menaati ketentuan Allah SWT dan suaminya, dan diceraikan tanpa imbalan, maka ia dapat mendapatkan keuntungan ganda. Dia dapat menikah lagi setelah perceraian, mungkin dengan kekasih sebelumnya, sementara suaminya yang menolak menceraikannya tidak menegakkan ketentuan Allah SWT. 

Kesediaan istri untuk memberikan sesuatu sebagai imbalan perceraian menunjukkan bahwa kehidupan rumah tangga menjadi neraka, dan melalui ayat ini Allah SWT membolehkan istri memberikan imbalan kepada suaminya dalam proses perceraian.

Menurut Sayid Sabiq, ketetapan duami dalam menerima tebusan dalam khulu' merupakan hukum yang adil dan tepat, karena sebelumnya sang suami lah yang memberikan mahar, biaya perkawinan dan nafkah kepada istrinya. Keadaan istri yang ingkar dan meminta pisah darinya merupakan hukum yang pantas dan adil jika istri diharuskan mengembalikan apa yang pernah diterima dari sang suami.

Para ulama fiqh mengatakan bahwa khulu' mempunyai tiga hukum, yaitu

1. Mubah

Istri boleh-boleh saja untuk mengajukan khulu' disaat ia merasa tidak nyaman apabila tetap hidup bersama sang suami, baik karena sifat-sifat buruk sang suami, atau dikhawatirkan tidak memberikan hak-haknya kembali atau karena ia takut ketaatan kepada sang suami tidak menyebabkan berdiri dan terjaganya ketentuan-ketentuan Allah SWT. Jika sang istri dalam kondisi seperti ini, khulu'  bagi istri ialah sah-sah aja atau boleh.

2. Haram

Khulu' dapat menjadi haram hukumnya apabila dilakukan dalam dua kondisi berikut ini:

a. Sang istri meminta khulu' tanpa adanya alasan yang jelas dan sebab yang jelas, padahal kondisi rumah tangga sedang tidak ada masalah dan baik-baik saja, bahkan tidak ada alasan dasar oleh istri untuk mengajukan khulu'

b. Sang suami dengan sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak-hak istri dengan maksud agar istri mengajukan khulu'. Apabila khulu' terjadi, maka sang suami tidak berhak mendapatkan dan mengambil iwadh.

Namun, ada pengecualian untuk suami apabila berbuat seperti di atas karena sang istri berbuat zina contohnya, maka perbuatan sang suami boleh-boleh saja dan menjadi berhak mengambil iwadh tersebut.

3. Sunnah

Mazhab Hambali berpendapat bahwa khulu' dapat menjadi sunnah hukumnya apabila sang suami sudah ingkar dari ajaran Allah, seperti tidak melaksanakan sholat, puasa Ramadhan atau yang lainnya, atau lebih parahnya suami melakukan perzinaan, mengonsumsi obat-obatan terlarang . Namun, sebagian ulama lainnya menilai kondisi seperti itu, bukan lagi sunnah hukumnya, melainkan wajib hukumnya.


Dalam berunding untuk ukuran iwadh atau tebusan khulu' beberapa ulama mengemukakan pendapatnya masing-masing, seperti Mazhab Syaafi'i berpendapat bahwa di dalam khulu' boleh digunakan tebusan dengan seluruh mahar atau sebagiannya, atau dengan harta lain selain mahar. 

Sedangkan, Mazhab Hanafi berpendapat bahwa jika suami yang mengakibatkan mudharat, maka ia tidak boleh mengambil sesuatu dari istrinya, akan tetapi jika sang istri yang menadi penyebab, maka suami boleh mengambil kembali apa yang pernah ia berikan pada sang istri, dan tidak boleh lebih dari pemberiannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun