Beberapa hari belakangan ini di daerah Jakarta Selatan tempat saya tinggal, hujan lebat disertai angin badai kerap datang menghantam. Skala dan dampaknya cukup dahsyat. Di bilangan Jagakarsa, misalnya, kenalan saya sampai mengalami cobaan berupa atap rumah mereka beterbangan oleh angin puting beliung.Â
Masih segar pula dalam ingatan kita banjir besar di Bali beberapa waktu lalu. Belum lagi bencana serupa di berbagai wilayah di Nusantara, dan juga bahkan dunia.
Ini menandakan bahwa anomali iklim dan cuaca ekstrem adalah bahaya nyata yang mau tak mau harus kita terima. Masalahnya adalah bagaimana kita melakukan langkah mitigasi seraya mencegah kerusakan yang kian parah bakal terjadi di kemudian hari.
Solusi tentu harus datang dari berbagai arah, mulai dari segi teknis sampai aspek yang sangat filosofis-etis. Dari segi yang terakhir (filosofis-etis), pemikir kontemporer Islam terkemuka, Ziauddin Sardar (lahir 1951), menawarkan satu piranti filosofis bernama tauhid yang kemudian ia kaitkan dengan aspek lingkungan. Secara singkat, saya menyaripatikan konsep Sardar ini sebagai 'tauhid ekologis.'
Sardar memang tidak secara eksplisit menawarkan konsep 'tauhid ekologis.' Hanya saja, dalam kumpulan kolomnya di majalah The Guardian yang kemudian dibukukan menjadi Reading the Qur'an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam, ia menjadikan tauhid sebagai konsep sentral dalam etika lingkungan Islam-nya. Merujuk pada edisi terjemahan buku tersebut , yang kebetulan saya merupakan salah satu penerjemahnya, berjudul Ngaji Quran di Zaman Edan: Sebuah Tafsir untuk Menjawab Persoalan Mutakhir (Serambi, 2014), Sardar menjelaskan ada dua konsep terpenting dalam Alquran terkait masalah lingkungan.
Pertama, konsep tauhid atau keesaan Tuhan. Menurut Alquran, Tuhan itu Maha Esa dan pemilik mutlak alam semesta. Semua makhluk-Nya, termasuk alam bersifat terbatas dan terukur, sehingga alam secara fitrah memiliki hukum, pola, prediktabilitas, kecenderungan, tren-tren tertentu, aturan-aturan tertentu.
Saat Alquran merujuk pada fenomena alam, penekanannya adalah pada alam yang tertib, tersusun rapi, teratur, dan bisa diramalkan. Ini selaras dengan surah Yasin ayat 38-40 dalam Alquran yang berbunyi, "Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan tahapan-tahapan sehingga akhirnya kembalilah bulan sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya."
Artinya, alam dan lingkungan dapat dipelajari secara rasional serta digunakan untuk kepentingan manusia secara bijaksana. Prinsip tauhid jadinya diturunkan menjadi kemanunggalan antara manusia dan alam dan kesatuan antara pengetahuan dan nilai.Â
Kedua, konsep khalifah, yang menebalkan bagaimana kemanunggalan manusia dan alam berdasarkan tauhid itu harusnya diterapkan. Sardar lebih suka menerjemahkan kata khalifah sebagai 'pemegang perwalian', bukan 'penguasa.' Ini diperjelas dalam surah Al-Baqarah ayat 30 ketika Allah memberi tahu para malaikat "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Khalifah menjadi sekadar wakil dari otoritas lebih tinggi, yaitu Tuhan.Â
Alhasil, khalifah tidak memiliki hak eksklusif apa pun atas alam. Fungsi pemegang mandat atau perwalian adalah melaksanakan tanggung jawabnya secara benar dan memastikan aset perwalian bertahan dan berkembang. Jadi, manusia tidak terlepas dari Tuhan, melainkan bertanggung jawab kepada Tuhan atas segala kegiatan manusia di muka bumi, baik kegiatan ilmiah dan teknologi, kegiatan industri dan bisnis, juga kegiatan individual dan kolektif.
Jika kita saripatikan, konsep tauhid ekologis Sardar jadinya berpendapat bahwa alam adalah amanah sekaligus panggung bagi perjuangan moral dan etis manusia. Alam adalah 'ayat atau tanda' Tuhan dan menjaga alam berarti menerapkan iman dan Islam secara kaffah (menyeluruh) yang akan berbuah pahala dan rasa penghambaan mendalam kepada Tuhan.
RelevansiÂ
Jika umat Islam sebagai umat dengan jumlah terbanyak nomor dua di dunia dapat menderivasikan (menurunkan) konsep tauhid ekologis ini ke dalam tindakan maupun kebijakan konkret, tentu masalah anomali iklim, pemanasan global, dan cuaca ekstrem bisa termitigasi. Setidaknya ada dua langkah konkret untuk itu.
Pertama, masyarakat dunia mesti mengadopsi prinsip hidup secukupnya demi menghindari eksploitasi alam secara berlebihan. Harus dicari titik keseimbangan antara pembangunan dan pemeliharaan. Sebatas memelihara tentu akan melahirkan stagnasi, tapi sebatas membangun akan mengakibatkan eksploitasi. Titik tengah di antara keduanya perlu ditemukan. Penerapan konsep pembangunan lestari (sustainable development) dan pemenuhan butir-butir Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai konsensus dunia wajib dipenuhi.Â
Dalam kebijakan tata kota, ini bisa mewujud dalam rancangan tata-kota yang ramah lingkungan dan memastikan lahan-lahan hijau atau resapan air tidak menjadi lahan-lahan beton untuk kepentingan komersial, industri, ataupun perumahan investasi.
Kedua, secara individu, kita berkewajiban membekali diri dengan literasi lingkungan (ekoliterasi) guna menumbuhkan pola hidup ramah lingkungan. Tindakan sesederhana membawa botol air minum isi ulang seperti tumbler, mengurangi pemakaian tas atau kemasan plastik, mendaur ulang sampah, mengurangi frekuensi kendaraan bermotor pribadi, dan lain sebagainya, adalah kontribusi penting bagi pemeliharaan lingkungan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI