Meski negeri ini mencita-citakan demokrasi, terutama sejak 1998 yang ditandai sebagai tonggak awal era Reformasi, realisasi cita itu masih jauh panggang dari api. Rangkaian demonstrasi masyarakat sipil pada akhir Agustus lalu, misalnya, sejauh ini tampak bergerak justru menuju antiklimaks. Respons pemerintah sekadar memenuhi sebagian kecil tuntutan plus melakukan reshuffle kabinet, tapi substansi demokrasi sendiri terabaikan.Â
Jika mengacu pada dua ciri sederhana demokrasi sebagaimana dikemukakan Nurcholish Madjid  (dalam Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi, Penerbit Kompas, 2001), yaitu adanya kebebasan dan penghormatan terhadap supremasi hukum, perjalanan demokrasi kita mandek. Buktinya dari aspek kebebasan, kini mulai ada sejumlah gerakan yang mengancam kebebasan masyarakat sipil untuk bersuara dan mengkritik pemerintah. Dari segi supremasi hukum, kita pun tidak beranjak jauh. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) kita misalnya tidak banyak berubah. Juga, berbagai laporan tentang tidak responsifnya aparat hukum masih banyak berseliweran di media arus utama maupun media sosial.
Namun jika mengacu sejarah, babak demokrasi Indonesia ternyata memang tidak panjang. William Liddle dalam Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia (Paramadina, 2012) mengamati kita benar-benar mengecap iklim demokrasi liberal itu hanya pada kurun 1950-1959, yang berarti hanya sekitar 10 tahun dari usia republik yang kini sudah menginjak 80 tahun.
Apa yang salah dengan negeri ini sampai-sampai begitu sulit menjalankan demokrasi? Padahal, Indonesia sebagai negara kepulauan harusnya memiliki kultur maritim yang mendarah-daging, di mana kultur maritim itu sendiri merupakan lahan subur bagi persemaian kultur demokrasi.
Seperti dikemukakan M Dahlan Abubakar dalam Mattulada: Dari Pejuang hingga Ilmuwan (Penerbit Kompas, 2023), antropolog Mattulada mencetuskan konsep kehidupan maritim yang berperahu itu melahirkan pola kapitan laut, yaitu kepemimpinan yang didasarkan pada kemampuan dan prestasi untuk sampai kepada puncak piramida sosial.
Berdasarkan pola ini,seseorang baru mungkin menjadi nakhoda atau kapitan setelah melalui pengalaman berjenjang, mulai dari anak tangga terbawah fungsi-fungsi kehidupan berperahu. Maka itu, kepemimpinan maritim atau pola kapitan laut sangatlah terbuka, memacu masyarakat untuk berkompetisi mencapai prestasi, dan menjadikan konflik sebagai dinamika wajar dalam kehidupan persaingan. Singkat kata, kepemimpinan maritim bersifat demokratis, egaliter, dan meritokratis (hanya yang memiliki merit atau prestasi yang layak menjadi pemimpin).
Lantas, mengapa modal besar budaya maritim yang demokratis dan harusnya memudahkan masyarakat kita mengadopsi sistem politik demokrasi tampak tidak berarti? Hipotesis saya adalah karena kultur maritim bangsa ini memang sudah tergerus sejak lama sehingga tidak lagi terhayati (terinternalisasi) dalam psike masyarakat kita. Salah satu faktor yang membuat kultur maritim demokratis itu teredam adalah "sindrom kerajaan Mataram" atau cukup "sindrom Mataram."
Merujuk Mohammad Iskandar dalam "Kurun Niaga dan Keruntuhan Tradisi Maritim di Jawa: 1500-1680" (dalam Jurnal Sejarah Abad Volume 1, Nomor 2, Desember 2017), Nusantara adalah negara maritim. Pun daerah yang bercorak agraris seperti Kerajaan Sunda juga memiliki kultur maritim karena negeri ini mengandalkan ekonominya pada perdagangan alias sektor niaga yang bertumpu pada pelayaran di laut. Artinya, kultur maritim juga akrab dan tertanam bahkan di masyarakat dengan geografi agrarian.
Sayangnya, kultur maritim itu perlahan hancur dalam kurun 1500-1680 oleh "Sindrom Mataram." Ini istilah Iskandar bahwa kebesaran berbagai kerajaan Nusantara sebagai kekuatan maritim dan perdagangan merosot terutama karena adanya Kerajaan Mataram sebagai kekuatan baru yang muncul di pedalaman Jawa.Â