Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Financial

Mencegah PHK Massal Itu Sederhana, Tapi Maukah Kita Melakukannya?

3 September 2025   09:43 Diperbarui: 3 September 2025   12:36 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Judul di atas tidak bermaksud menggampangkan persoalan serius yang sedang dialami bangsa ini. Saking seriusnya, mencegah PHK massal bahkan menjadi salah satu poin dalam daftar 17+8 tuntutan masyarakat sipil terhadap pemerintah yang dirumuskan setelah rangkaian demonstrasi panjang 25-31 Agustus 2025 lalu. Akan tetapi, pengalaman saya bekerja di dua media ekonomi sebagai penerjemah berita bisnis selama satu dasawarsa lebih telah mengajarkan kepada saya bahwa akar PHK massal itu sederhana dan berulang itu-itu saja. Solusinya juga standar dan sederhana dalam rumusan kata-kata, tapi kadang berat dalam penerapannya.

Memangnya apa akar sederhana itu? Ancaman PHK massal itu akan membayang ketika ada tiga faktor. Pertama, pelemahan daya beli masyarakat yang mengakibatkan penerimaan produsen menurun, sehingga harus mengurangi pengeluaran demi mempertahankan laba ataupun biaya operasional. PHK menjadi salah satu item yang sering dilakukan untuk memangkas pengeluaran.

Kedua, merosotnya sektor-sektor manufaktur padat karya (labor-intensive), yang umumnya terjadi karena entah kurangnya daya dukung pemerintah ataupun karena merosotnya pendapatan mereka atau kombinasi di antara keduanya. Bahasa kerennya adalah terjadi deindustrialisasi atau senjakala industri (sunset industry).

Ketiga, mekanisasi dan digitalisasi akibat kemajuan teknologi membuat pekerja berkecakapan kasar (hard skill) tergantikan dengan proses otomatisasi yang meski mahal di awal, tapi lebih menguntungkan bagi perusahaan dalam jangka panjang. Misalnya saja, petugas tiket jalan tol kini sudah tidak ada lagi di Indonesia karena sudah digantikan dengan mekanisasi tap-in dan tap-out di gerbang tol.

Solusi

Jika akar PHK massal secara sederhana dan mudah bisa dipetakan, itu sudah setengah solusi mengingat knowing the problems is half of the solution. Lantas, apa solusinya? Lagi-lagi, ada sejumlah solusi sederhana yang akan tetapi memang kadang berat diterapkan karena bisa mengusik lahan ekonomi sejumlah kepentingan.

Pertama, pelemahan daya beli harus diakui terjadi. Pelemahan indeks kepercayaan konsumen (IKK) secara konsisten, meski masih di atas batas aman 100, adalah buktinya. Indikator lain tak terbantahkan adalah nyungsepnya Purchasing Managers Index (PMI) di bawah angka aman 50. PMI ini mengukur produksi, persediaan, dan lain sebagainya dari sektor manufaktur. Gampangnya, PMI yang semakin kecil adalah alarm mengenai semakin lemahnya daya beli konsumen.

Karena itu, daya beli harus didongkrak. Salah satu cara termudah adalah otoritas moneter (BI) mesti menurunkan suku bunga acuan guna melonggarkan suku bunga pinjaman kepada kebutuhan konsumsi (consumer lending rate). Tidak cukup itu saja, BI harus memastikan transmisi dari kebijakan pemangkasan suku bunga acuan ke penurunan bunga kredit konsumsi oleh perbankan juga terjadi secara paralel dan cepat. Tak kalah penting, OJK harus mengetatkan pengawasan terhadap praktik perbankan bayangan atau pinjaman ilegal berbunga tinggi yang justru bisa mencekik leher konsumen.

Lebih aktual lagi, pemerintah harus menahan diri untuk tidak mengeluarkan kenaikan pajak atau berbagai iuran utilitas (listrik, air, BPJS Kesehatan, dan lain sebagainya) guna menjaga daya beli masyarakat. Stabilitas harga bahan pokok menjadi tak bisa ditawar-tawar lagi (non-negotiable). 

Pemerintah juga mesti mengoptimalkan alokasi dana bantuan sosial ala transfer tunai (cash transfer) kepada orang yang berhak mendapatkannya. Sekecil apa pun, pemberian dana tunai pastilah meningkatkan daya beli.

Kedua, guna mencegah deindustrialisasi sektor manufaktur, yaitu sektor pengolahan seperti sektor otomotif, sektor alas kaki, tekstil, retail, dan lain sebagainya, pemerintah mesti memangkas biaya bagi sektor-sektor tersebut, seperti biaya gelap alias pungli, baik dari oknum birokrasi maupun dari praktik premanisme. Sudah jadi rahasia umum, banyak sektor manufaktur mengurungkan diri untuk berekspansi atau berinvestasi karena tingginya "biaya siluman" di Indonesia. Hanya saja, ini membutuhkan komitmen kuat dan tegas dari pemerintah dan juga aparat penegak hukum. Kadang, di sinilah terletak simpul kesulitannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun