Tunjangan rumah anggota DPR bernilai fantastis 50 juta rupiah yang sudah menjerumuskan negeri ini ke rangkaian demonstrasi seperti demo di DPR, kerusakan fasilitas umum, korban nyawa, dan ketidakstabilan politik selama seminggu belakangan ini akhirnya dibatalkan. Hal ini secara melegakan diumumkan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto sesuai pertemuannya dengan para ketua umum partai politik di Istana Negara pada Minggu (31/5/2025). Sebuah kabar yang menutup bulan kemerdekaan dengan sedikit manis meskipun tidak bisa menutupi kegetiran tragedi yang sudah terjadi selama satu pekan terakhir.
Namun, masih ada pelajaran penting yang harus kita camkan supaya jangan terulang lagi di kemudian hari. Yaitu, kenyataan bahwa ruang sejuk parlemen selama ini sering kedap dengan aspirasi ketidaksetujuan para konstituen yang telah memberikan mandatnya kepada para legislator yang duduk di sana. Rakyat pemilih sudah lama tidak punya daya lagi untuk mengendalikan para wakil mereka yang padahal hanya bisa duduk di parlemen dengan suara para rakyat tersebut.Â
Adapun tidak responsif sekaligus berjaraknya para legislator dengan rakyat pemilih mereka terjadi karena sistem politik Indonesia di era Reformasi ternyata kental diwarnai oleh apa yang disebut kartelisasi partai.
Menurut Dodi Ambardi dalam disertasinya di Ohio State University yang sudah dibukukan, Mengungkap Politik Kartel (Penerbit Buku Kompas, 2009), kartelisasi partai adalah upaya untuk mewakili dan melindungi kepentingan partai-partai politik sendiri sebagai satu kelompok. Jadi, tidak ada persaingan di antara partai-partai karena mereka memiliki kesatuan kepentingan, yang kerap berbeda dengan rakyat-massa yang mereka wakili.Â
Maka itu, kartelisasi dicirikan pula dengan koalisi tambun (oversized coalition), ketiadaan oposisi, pengabaian komitmen ideologi partai dan program pemilu secara kolektif, dan pembentukan satu kelompok sendiri yang melibatkan semua partai.
Ringkasnya, segala ciri kartelisasi di atas mengerucut pada dua karakteristik dasar kartel politik. Pertama, pengutamaan pragmatisme. Artinya, ideologi partai menjadi tidak terlalu relevan. Yang relevan adalah peluang untuk saling menguntungkan diri pribadi dan partai sendiri.Â
Selain itu, pengutamaan pragmatisme membuat siapa pun yang masuk ke partai dengan mengusung idealisme, entah ia itu aktivis atau intelektual publik, akan mendapati diri mereka sering larut dengan suasana pragmatis tersebut.
Kedua, mengaburnya batasan antara fraksi pemerintah dan oposisi. Dalam kasus tunjangan rumah para legislator, hal ini tampak nyata. Keputusan tunjangan itu disetujui oleh seluruh fraksi. Dengan kata lain, tidak ada fraksi yang oposan atau oposisi.
Berdasarkan kerangka kartelisasi di atas, teranglah bagi kita mengapa para wakil rakyat terkesan menulikan diri terhadap teriakan sebagian besar rakyat yang menentang rencana itu. Sebab, kartelisasi partai memang hanya merangkul sesama partai (inclusion) seraya menyingkirkan massa-rakyat (exclusion).
Empat solusi
Namun, segala sesuatu pasti memiliki solusi. Setidaknya ada empat solusi yang bisa diajukan untuk mengikis kartelisasi partai politik di era reformasi. Pertama, menyadarkan kelas menengah dan masyarakat akar rumput untuk melakukan penajaman isu dan mengorganisir diri secara lebih baik dan terfokus dalam bentuk cluster-cluster perlawanan. Dari perspektif ini, masyarakat sipil nanti akan membagi diri menjadi misalnya cluster perlawanan terhadap wakil rakyat yang tidak responsif, cluster pengawas reformasi kepolisian, cluster advokasi lingkungan, dan sebagainya. Yang perlu diperhatikan hanyalah persistensi dari cluster tersebut.
Kedua, pemerintah daerah dan inisiatif masyarakat sipil perlu menggalakkan pembentukan lembaga-lembaga bantuan hukum (LBH) yang secara pro bono (gratis) memberikan pendampingan dan advokasi hukum kepada masyarakat yang minim akses kepada bantuan hukum. Inilah bentuk "bantuan hukum struktural" (Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, LP3ES, 1988) yang akan menjadikan masyarakat lebih melek hukum dalam menjaga hak-hak mereka dari potensi kesewenang-wenangan negara. Sekaligus, membuat masyarakat sipil dapat melakukan perlawanan hukum kepada praktik penyimpangan kekuasaan dengan cara yang rasional, damai, konstitusional, dan elegan.Â
Ketiga, menggencarkan wacana calon presiden independen, yang hanya bisa dilakukan lewat amandemen UUD 1945. Sebab, keberadaan calon presiden independen akan memberikan ruang bagi massa-rakyat yang jengah dengan partai politik yang pongah untuk menyalurkan sentimen mereka kepada satu figur sentral. Calon presiden yang tak perlu lagi melewati partai akan mendapatkan legitimasi yang kian kuat dari massa-rakyat dan dapat menjadi penyeimbang bagi partai-partai politik yang terjalin secara kartel.
Keempat, kita perlu mempermudah dan melonggarkan syarat pendirian partai politik demi memarakkan jumlah maupun keragaman alternatif partai. Seiring penghapusan presidential threshold oleh Mahkamah Konstitusi (MK), banyaknya partai akan berpotensi memunculkan beragam calon presiden alternatif bagi rakyat tanpa perlu tergantung pada koalisi tambun.
Penerapan empat solusi di atas akan membantu bangsa ini untuk mulai mengikis dominasi kartelisasi partai. Tanpa upaya mengatasi kartelisasi partai, akan ada satu kemungkinan gawat yang membayang sebagaimana dikemukakan oleh Tony Supriatna dalam Prisma (Nomor 2, 2009). Yaitu, bangkitnya kembali militer sebagai kekuatan politik mengingat militer sejatinya masih memiliki semua infrastruktur yang diperlukan bila mereka merasa perlu melakukan intervensi dalam politik. Dan tentu skenario terakhir ini bukanlah dambaan ideal bagi kita semua yang telah memilih jalan demokrasi sesudah runtuhnya rezim Orde Baru 27 tahun yang lalu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI