Bulan kemerdekaan di Agustus ini ternyata mengandung ironi yang memiriskan hati. Bukannya membuncah dengan tekad kuat menjadikan negara ini tangguh menghadapi banyak tantangan, bangsa ini justru rentan. Gelombang demi gelombang demonstrasi berbuah kerusuhan dan sejumlah korban terus bersusulan. Mulai dari riak perubahan di Pati sampai gelombang cukup besar demo di DPR di Senayan. Bahkan yang paling tragis, seorang pengemudi ojek daring tewas dilindas mobil baracuda berkecepatan tinggi dari aparat keamanan sebagaimana terlihat dalam tayangan video yang sedang viral dan membuat rakyat geram.
Mau tak mau situasi mencekam saat ini mengingatkan orang pada momen-momen menjelang reformasi 1998. Saat itu masyarakat mengeluhkan kondisi ekonomi, banyak demonstrasi, dan berpuncak pada gugurnya empat pahlawan reformasi mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998.
Basis teoretis
Kita tentu tidak mau kondisi penuh ketidakpuasan maupun ketidakpastian yang berpuncak pada situasi kekerasan ala 1998 terjadi sekarang. Rakyat sudah lelah dengan penderitaan ekonomi mereka mencari sesuap nasi untuk dibebani lagi dengan bayangan soal berulangnya reformasi.Â
Karena itu, mari kita kaji secara jernih faktor-faktor apa yang memicu reformasi 1998 dan bagaimana menghindarinya supaya tidak terjadi lagi hari ini.
Karya teoretis yang legendaris dengan temuan yang nyaris tak terbantahkan adalah disertasi Denny JA berjudul Democratization from Below (Sinar Harapan, 2006). Dalam disertasi doktoral ilmu politik Denny JA di Ohio State University yang cukup tebal ini, bisa saya ringkaskan lima faktor utama yang  berujung pada pergantian kekuasaan bernama Reformasi 1998 kala itu, yaitu: krisis ekonomi yang memicu demonstrasi massa, keberadaan pengusaha politik yang menyebarluaskan ide akan perubahan, perpecahan di antara elit, konflik antara pemimpin sipil dan panglima militer, serta kesalahan terakumulasi dari penguasa.
Bagaimana kondisi negeri kita hari ini? Meski belum krisis, tanda-tanda ke sana sudah sangat terasa. Susahnya mencari pekerjaan, naiknya harga-harga kebutuhan pokok yang tidak diiringi kenaikan penghasilan, munculnya berbagai pungutan dan pajak yang memberatkan, fenomena rombongan jarang beli (Rojali) di pusat perbelanjaan, dan lain sebaginya adalah beberapa contohnya. Data BPS yang menunjukkan ekonomi justru tumbuh 5,12 persen menjadi kurang dipercaya. Majalah Tempo bahkan menurunkan laporan berjudul Utak-Atik Data Statistik untuk meng-counter data tersebut. Pun jika data BPS itu benar, hal demikian hanya menunjukkan bahwa pertumbuhan ternyata tidak menetes ke bawah alias dinikmati hanya oleh segelintir orang. Data Purchasing Management Index (PMI) yang nyungsep di bawah batas minimum 50 adalah bukti telak daya beli masyarakat tidaklah baik-baik saja.
Di tengah kesulitan ekonomi seperti itu, elit politik justru menunjukkan blunder demi blunder alias kesalahan terakumulasi mulai dari rencana kenaikan PPN ke 12 persen, pemblokiran rekening nganggur oleh PPATK, terungkapnya kasus korupsi di Kabinet Merah Putih, penghematan anggaran yang berakibat pada pemangkasan dana alokasi umum dan alokasi khusus ke daerah hingga beberapa daerah harus menaikkan pajak bumi dan bangunan, kelangkaan dan kenaikan harga beras di pasaran di tengah klaim surplus beras, sampai terakhir terkuaknya informasi menyakitkan soal tunjangan perumahan anggota DPR yang mencapai 50 juta rupiah per bulan.
Wajar jika muncul resistensi dari masyarakat. Justru akan tidak wajar jika rakyat dan masyarakat sipil diam saja. Akhirnya, muncullah banyak influencer yang mengkritik berbagai kebijakan publik, termasuk yang sensasional adalah seorang juara debat lulusan UGM yang kini mukim di Denmark, Salsa Erwina Hutagalung. Mereka ini boleh dibilang sebagai pengusaha ide perubahan saat ini jika merujuk pada teori Denny JA.
Sayangnya, blunder elit justru ditimpa dengan kesalahan-kesalahan fatal lain yang semakin menunjukkan berjaraknya para elit dengan rakyat pemberi mandat dan tumpulnya rasa empati para penerima mandat tersebut. Berikut sejumlah deretan blunder negara saat ini dalam merespons aspirasi massa: joget-joget anggota dewan di ruang rapat, ungkapan anggota DPR yang menyebut pola pikir masyarakat yang menyerukan pembubaran DPR sebagai 'tolol,' pembuatan video sound horeg joget-joget oknum anggota dewan dalam merespons kritik masyarakat, tindakan Kementerian Komdigi memanggil TikTok dan Meta terkait banyaknya konten bertemakan demonstrasi 25 Mei 2025, himbauan Polri kepada masyarakat untuk tidak melakukan Live TikTok saat demonstrasi, hingga gugurnya seorang pengemudi ojek daring oleh mobil aparat saat demonstrasi buruh 28 Mei 2025.