Indonesia kembali berduka! Negeri ini kehilangan lagi seorang tokoh pemikir besar, ekonom Kwik Kian Gie yang wafat pada Senin (28/7/2025) di usia 90 tahun. Meski beretnis Tionghoa yang sering dipinggirkan oleh negerinya sendiri, Kwik adalah contoh seorang nasionalis tulen yang tetap total mencintai negaranya. Kritiknya yang tajam dan mudah dicerna publik adalah salah satu kekuatan mantan menteri bidang ekonomi di dua presiden (Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri), sehingga dia layak dijuluki sebagai intelektual publik, cendekiawan, guru bangsa.
Kwik boleh dibilang pribadi lengkap yang pikirannya membumbung tinggi ke angkasa tapi tetap dengan kaki menjejak bumi. Mungkin karena profesinya yang seimbang di dunia pikiran/ide dan dunia praktis-pragmatis. Tidak hanya seorang ekonom dan dosen, Kwik adalah pebisnis sekaligus politikus kawakan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Dia adalah aktivis, pebisnis, politikus, kritikus, dan juga pejabat publik. Sehingga, kritiknya basah dengan realitas lapangan tapi resik bernas di tataran pemikiran.
Dua teori krisisÂ
Kemampuan Kwik mengkritik kebijakan publik dengan bahasa populistik yang jauh dari jargon teknokratik tapi tetap bernuansa teoritik itulah yang membuat Kwik dicintai warga republik. Salah satu warisan pemikiran Kwik yang sering diulang-ulang dalam berbagai kolomnya di harian Kompas maupun Majalah Tempo (di mana dia menjadi penulis langganan) maupun buku-bukunya adalah teori underconsumption dan overinvestment sebagai prediktor atau penjelas krisis ekonomi. Uraian tentang dua teori ini saya sarikan dari bukunya Ekonomi Indonesia dalam Krisis dan Transisi Politik (Gramedia, 1999) dan kata Pengantar yang ia buat untuk buku Krisis Finansial karya ekonom muda A. Prasetyantoko (Penerbit Kompas, 2004).
Pertama, teori underinvestment yang terilhami oleh pemikir ekonomi besar seperti Samuelson dan Schumpeter menjelaskan bahwa krisis bisa terjadi ketika ada kondisi tidak sepadannya kenaikan konsumsi dengan kenaikan kapasitas produksi. Obat untuk krisis ini sederhana bagi Kwik, yaitu memompakan daya beli ke masyarakat supaya konsumsi bergairah kembali. Pemompaan itu dapat dilakukan lewat berbagai cara seperti memberikan bantuan sosial seperti cash transfer, memberikan insentif fiskal maupun pajak, menurunkan suku bunga, dan lain sebagainya. Kelemahannya adalah bisa terjadi defisit anggaran negara.
Kedua, teori overinvestment. Menurut Kwik, investasi yang berasal dari kredit bank seringkali memang lebih besar daripada tabungan. Harapan para investor, daya beli dan tingkat konsumsi akan kian meningkat sehingga return on investment (ROI) para investor itu dapat menutup biaya investasi (cost of investment) dan biaya dana (cost of fund) yang harus mereka keluarkan.Â
Sayangnya, pada titik tertentu, ROI itu pasti akan terperosok. Sebab, prinsip bank sebagai agen intermediasi yang liar menciptakan dan menganakpinakkan uang lewat pemberian kredit beserta bunganya---belum lagi lewat penawaran instrumen derivatif yang rumit dan tidak memiliki aset dasar alias underlying assets---pastilah berujung pada tidak mampunya kapasitas uang beredar mengikuti pembiakan uang tersebut.Â
Alhasil, perusahaan-perusahaan yang memakai banyak kredit atau menempatkan dananya pada instrumen-instrumen tak berkualitas bakal rontok atau menciutkan skala usahanya. Pekerjaan pun berkurang, PHK terjadi di mana-mana, daya beli menurun, pertumbuhan terbonsai, dan potensi krisis pun dimulai.
Atau, overinvestment akan menyebabkan krisis ketika investasi yang didominasi asing tiba-tiba menarik investasinya dari suatu negara karena kehilangan kepercayaan (losing confidence) terhadap negara bersangkutan. Banyak faktor yang menyebabkan kehilangan kepercayaan investor asing seperti birokrasi berbelit (red-tape bureaucracy), ketiadaan kepastian hukum akibat maraknya pungutan liar dan biaya tak resmi (karena premanisme misalnya), upah tenaga kerja yang mahal, sistem politik yang tidak demokratis, dan lain sebagainya.
Kwik tidak memberikan obat pasti bagi situasi overinvestment. Namun, dari banyak tulisannya implisit terkandung dua solusi. Pertama, mengembalikan kepercayaan investor supaya betah berinvestasi. Selain itu, otoritas fiskal maupun moneter harus siaga mendeteksi praktik-praktik finansial yang menjerembabkan Investasi, seperti produk investasi rumit maupun yang berbasis skema Ponzi, fraud (penipuan atau investasi bodong), pinjol ilegal atau bank bayangan (shadow banking), dan lain sebagainya.
Relevansi
Dua teori Kwik ini relevan ketika negeri ini sedang dilanda fenomena underconsumption (misalnya terlihat dari fenomena Rojali alias rombongan jarang beli di mal-mal) dan overinvestment ketika mulai banyak produk investasi rumit maupun hengkangnya sejumlah investasi asing.
Pemerintah karenanya mesti waspada untuk menghindari krisis. Resep Kwik supaya pemerintah memompa daya beli lewat berbagai insentif alih-alih membebani rakyat dengan berbagai pajak (seperti wacana pajak amplop kondangan misalnya) patut dicoba. Sembari juga membenahi iklim investasi dan penegakan hukum supaya investor mau menanamkan modal dan masyarakat terhindar dari praktik lancung para penjabat digital.
Selamat jalan Pak Kwik sang guru bangsa! Jasamu akan abadi karena warisan pemikiranmu yang terus relevan dengan permasalahan zaman.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI