Dalam suatu negara demokratis, kebebasan berbicara (freedom of speech) adalah sendi utama. Hanya dengan kebebasan berbicara pertukaran gagasan sesama warga dimungkinkan untuk memecahkan masalah publik. Juga, kebebasan berbicaralah yang menjadi alat utama warga untuk mengkritik negara sebagaimana disepakati dalam berbagai teori civil society bahwa tugas masyarakat warga adalah memang mengimbangi negara, salah satunya lewat kritik.
Karena itu, pembatalan program gelar wicara malam alias late night talk show populer "The Late Show with Stephen Colbert" di stasiun televisi CBS menjadi isu panas di dalam politik Amerika saat ini. CBS, anak perusahaan dari perusahaan media besar Paramount, menyebutkan masalah finansial menjadi alasan utama mengapa Late Show "bungkus". Alasan yang janggal mengingat Late Show with Stephen Colbert secara reting justru konsisten menduduki nomor satu mengalahkan bahkan acara late night tertua yang masih bertahan, the Tonight Show di stasiun NBC, yang kini dipandu oleh komedian eks pemain Saturday Night Live, Jimmy Fallon. Apalagi, Colbert juga diberitahu secara mendadak bahwa kontraknya akan berakhir dan programnya akan berhenti tayang pada Mei 2026.
Maka itu, banyak orang dan analis di Amerika kini menuding Presiden Donald Trump berada di balik pemberhentian Stephen Colbert, yang mengambil alih acara ikonik late show itu dari David Letterman sejak 2015. Pasalnya, Trump selama ini dikabarkan gerah dengan kritik tajam Colbert dalam monolog stand-upnya di acara yang ditayangkan setiap malam kecuali akhir pekan.
Trump juga sempat melancarkan tuntutan hukum kepada CBS karena dalam kampanye presiden lalu dituduh terlalu memberikan panggung pada pesaing Trump, Kamala Harris. Trump bahkan sudah mencapai kesepakatan dengan CBS, yang harus membayar US$16 juta karena tuntutan sang presiden. Bahkan, taipan properti itu juga mengancam akan menjegal merger strategis antara Paramount dan Skydance Media senilai US$8 miliar.
Artinya, "pembredelan" the Late Show with Stephen Colbert bisa jadi merupakan kompromi Paramount untuk mengamankan transaksi menggiurkan senilai miliaran dolar itu. Tentu Paramount dan CBS membantah hal ini, tapi prasangka publik sudah terlanjur merangkai rentetan kejadian yang ada (connecting the dots) ke arah sana.
Ancaman demokrasi
Jika cerita di atas benar, ini merupakan serangan atau ancaman langsung ke salah satu jantung demokrasi. Sebab, acara late night di Amerika bukan sekadar program biasa, melainkan sudah menjadi semacam institusi politik tersendiri. Format tradisional acara late night show adalah pembuka dengan monolog komedi dari pembawa acara, yang biasanya bermuatan politik.Â
Mulai dari Johnny Carson, Jay Leno, Conan O' Brien, dan Jimmy Fallon di Tonight Show (NBC), Jimmy Kimmel di Jimmy Kimmel Live! (ABC), Jon Stewart dan Trevor Noah di the Daily Show (Comedy Central) sampai David Letterman dan Stephen Colbert di Late show (CBS) semuanya mematuhi format di atas. Nampaknya, monolog ini yang menjadi momen bagi stasiun televisi untuk melakukan fungsi edukasi politik kepada penontonnya, tentu dengan cara komedi yang menghibur mengingat penonton mereka menyaksikan acara sekitar pukul 11 malam sampai jam 1 pagi setelah penat bekerja seharian.Â
Seusai monolog, acara akan berpindah ke wawancara dengan sejumlah tokoh publik, mulai dari selebriti hingga politisi. Itulah sebabnya  acara late night menjadi institusi mapan dalam demokrasi Amerika untuk menjalankan fungsi sosialisasi, edukasi, maupun komunikasi politik.
Maka itu, suara pembelaan terhadap Colbert terus mengalir dari sesama pembawa acara maupun dari warga biasa. Bahkan, sebagai masyarakat sudah mulai menggulirkan gerakan "cancel Paramount subscription" alias berhenti berlangganan kanal Paramount.
Kita masih perlu melihat apakah ancaman terhadap demokrasi, pun di negara dengan demokrasi mapan seperti Amerika, masih akan terjadi. Pasalnya, Trump sudah mencuit di X bahwa "Kimmel will be next." Kimmel di sini merujuk pada Jimmy Kimmel, pembawa acara Jimmy Kimmel Live! yang memang kritis terhadap Trump dan sudah memandu acara itu selama 24 tahun. Dan jika serangan itu terus terjadi tanpa ada penghalang, kita bisa mengatakan bahkan di negara demokrasi maju seperti Amerika, kehadiran pemimpin populis yang tidak diimbangi dengan eksekusi rasionalitas kritis paham Republikanisme oleh warga negara bisa menelan bulat-bulat demokrasi itu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI