Sila pertama Pancasila adalah "Ketuhanan yang Maha Esa". Sila ini lahir dari pergumulan pemikiran panjang para tokoh bangsa, mulai dari hanya kata "ketuhanan" di urutan kelima dalam Pancasila versi pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" pada piagam Jakarta 22 Juni 1945, sampai terakhir "Ketuhanan Yang Maha Esa" pada 18 Agustus 1945.
Pada tataran makro praktis kehidupan bernegara, manifestasi sila pertama mewujud dalam relasi agama dan negara, yang sudah dibahas dalam sesi sebelumnya. Sementara pada tataran mikro kehidupan berbangsa dalam dinamika interaksi sesama warga, sila pertama ini diharapkan mewujud dalam karakter "Berketuhanan" yang etis. Apakah karakter "Berketuhanan" yang dimaksud? Kita akan membahasnya berikut ini.
Karakter Berketuhanan dalam Kepancasilaan
1. Warga negara mesti mengembangkan hubungan baik dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam.
Mengembangkan hubungan baik dengan Tuhan bisa dilakukan lewat sejumlah cara. Pertama, manusia sebaiknya senantiasa bersyukur atas hidup yang diberikan Tuhan kepadanya dengan mengembangkan potensi yang diberikan Tuhan lewat ikhtiar selalu memperbaiki diri setiap hari. Sebab, manusia juga merupakan bagian dari citra Tuhan di muka bumi (imago dei)
Kutipan dari John C. Maxwell bahwa perubahan sebaiknya dimulai dari diri sendiri, dari hal kecil, dan dari saat ini juga bisa mewakili. Atau, dalam konteks bacaan yang lebih mutakhir, buku Atomic Habits karya James Clear yang mengajari kita untuk membuat perubahan dari hal kecil namun secara konsisten juga bisa menjadi panduan.
Kedua, berbahagia. Manusia harus mencari alasan untuk bahagia setiap saat. Dengan begitu, manusia sekaligus mensyukuri hidup
Satu metode filosofis yang bisa membantu adalah dialektika. Proses dialektika Hegel bekerja dengan menegasi sesuatu atau menyangkal sesuatu (unsur negatif) sekaligus melakukan transformasi (unsur positif) ke level lebih tinggi alias sintesis, proses yang bernama Aufheben (F.Kennedy Sitorus, "Hegel tentang Dialektika Maut", dalam Filsafat Maut, KPG, 2025).
Dengan dialektika kehidupan, manusia harus menceburkan diri ke dalam laku kerja perjuangan hidup sehingga ia bisa hidup mandiri, berdikari, dan tergenapi demi memunculkan rasa bahagia karena teraktualisasikannya potensi mereka. Karena itu, manusia mesti mengembangkan adversary quotient, yaitu kecerdasan menghadapi tantangan hidup.
Ketiga, hidup dengan mencintai Tuhan. Islam misalnya mengenal konsep mahabbah, sementara ajaran Kristiani memiliki konsep agape dalam ajaran Kristiani. Sikap mencintai Tuhan membuat manusia memiliki kekuatan, keberanian, semangat keikhlasan dan semangat pengorbanan. Sebab, manusia merasa Tuhan akan selalu ada di setiap langkahnya dan akan selalu merasa berkewajiban untuk menjalani hidup yang etis.