Tadi malam, saya bersama istri dan anak-anak saya memilih menghabiskan akhir pekan untuk menonton film Sore Istri dari Masa Depan arahan Yandy Laurens (Keluarga Cemara, Jatuh Cinta Seperti di Film-Film) dengan pemeran Dion Wiyoko dan Sheila Dara. Kebetulan saya juga fans web seriesnya sekitar 7-8 tahun lalu, di mana Sore diperankan oleh Tika Bravani.
Meski alurnya agak lambat dan repetitif, film ini mampu memberikan klimaks ending yang megah, apalagi diiringi dengan soundtrack Barasuara, "Terbuang dalam Waktu" yang sangat pas. Alur repetitif tak terhindarkan karena gaya tuturnya bersifat time loop di mana tokoh Sore berulang kali terbangun di samping Jonathan untuk memulai hari baru mengubah kebiasaan tak sehat Jo demi menghindari takdir tragis sang suami meninggal karena serangan jantung 8 tahun kemudian.Â
Gaya bertutur time loop mengingatkan pada film pelopor genre ini, yaitu Groundhog Day (1991) arahan Harold Ramis dengan pemeran Bill Murray dan Andie MacDowell. Film komedi romantis ini sukses di pasaran dan mengisahkan seorang jurnalis pria yang  mengalami perulangan hari selama bertahun-tahun demi mendapatkan cinta sang pujaan hati. Selain itu, film ini juga mengundang banyak analisa filsafat tentang waktu.
Karena Sore juga mengalami repetisi waktu selama bertahun-tahun, sampai dia bisa fasih berbahasa Kroasia, dan berurusan dengan upaya mencegah kematian sang suami, maka menarik jika kita membahas film Sore dari filsafat kematian dan waktu, utamanya dari filsafat Hegel dan Heidegger.
Filsafat kematian Hegel
Hegel selama ini terkenal dengan dialektika, padahal masalah kematian, keabadian jiwa, dan waktu juga menjadi tema kunci. Tema kunci itu diteropong dari esensi dialektika, yaitu negativa atau negasi di mana proses dialektika antara tesis dan antitesis melibatkan proses menegasi sesuatu atau menyangkal sesuatu (unsur negatif) sekaligus transformasi (unsur positif) ke level lebih tinggi alias sintesis. Proses ini disebut Aufheben (F.Kennedy Sitorus, "Hegel tentang Dialektika Maut", dalam Filsafat Maut, KPG, 2025).
Negativitas ada dalam seluruh realitas. Tuhan sebagai yang tak-terbatas menegasikan diri-Nya sendiri demi menghasilkan yang-lain yang-terbatas, yaitu dunia beserta isinya termasuk manusia. Sebagai yang-terbatas, manusia mewaktu secara terbatas, sehingga dalam kehidupan setiap manusia sudah terkandung Negativitasnya, yaitu kematian. Inilah yang disebut Hegel sebagai "Bibit kematian" (Keim des Todes).
Namun, dengan adanya bibit kematian ini, manusia menjadi termotivasi untuk mengisi makna hidupnya sebagai makhluk produktif dengan melakukan berbagai aktivitas yang mengaktualisasikan proyek hidupnya semaksimal mungkin hingga selesai, yaitu ketika kematian menjemput.
Saat mati, manusia sebagai individualitas kemudian kembali ke universalitas. Yang-terbatas kembali kepada Tuhan sehingga perbedaan antara universalitas dan individualitas terhapuskan. Jiwa manusia pun kembali kepada Tuhan. Dengan demikian, jiwa manusia menjadi abadi di dalam Tuhan.
Filsafat kematian Heidegger