Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Karen Warren dan Ekofeminisme Sebagai Salah Satu Solusi Perubahan Iklim

18 Juli 2025   20:57 Diperbarui: 18 Juli 2025   21:02 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Profesor filsafat Karen Warren, sang penggagas istilah ekofeminisme (sumber: www.dailynous.com)

Perubahan iklim (climate change) akibat pemanasan global (global warming) sudah sulit dibantah eksistensi riilnya di dunia. Sebelumnya ada sejumlah kalangan, terutama kaum industrialis yang menganggap isu ini mitos sesudah diangkat oleh Al Gore dalam film An Inconvenient Truth (2006). Namun, sesudah terlihat secara nyata bahwa perubahan iklim itu menyebabkan bencana hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan dan longsor, mitos itu pun berubah menjadi fakta. Di Indonesia sendiri, orang menyebut fenomena musim hujan dan cuaca dingin di musim kemarau saat ini akibat perubahan iklim sebagai musim bediding.

Salah satu akar dari perubahan iklim adalah efek rumah kaca yang terjadi karena aktivitas manusia, terutama aktivitas industri, yang tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan. Maka itu, komunitas internasional sudah sepakat untuk meluncurkan inisiatif global guna menekan emisi gas rumah kaca supaya pertambahan suhu bumi tidak sampai melebihi 1,5 derajat Celsius.  

Mengapa pemanasan global bisa membuahkan perubahan iklim? Ismed Hadad dalam jurnal Prisma (2010) menjelaskan bahwa pemanasan global adalah fenomena perubahan iklim akibat konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, atau lebih spesifiknya, akibat kegiatan ekonomi industri berbasis penggunaan bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi karbon dioksida. Emisi ini lantas bertumpuk di bumi menyerupai selubung. 

Kemudian, cahaya matahari menyinari bumi dan membuat bumi panas. Seharusnya, panas itu kembali ke udara supaya suhu bumi kembali normal. Namun, selubung emisi karbon dioksida tadi menahan pelepasan panas itu ke udara sehingga panas itu justru terpantul kembali ke bumi. Alhasil, suhu bumi pun meningkat, es di kedua kutub mencair, dan permukaan laut naik. Peredaran arus laut inilah yang mengakibatkan perubahan iklim.

Jadi, perubahan iklim akibat pemanasan global adalah proses berangsur-angsur menyusul penggunaan bahan bakar fosil secara tidak rasional demi menggerakkan perekonomian industri. Artinya, perubahan iklim terjadi karena ulah manusia yang ingin memuaskan hasrat ekonominya secara tak terkendali lewat berbagai macam tindakan eksploitasi lingkungan rakus karbon. Bayangkan saja, data dari International Energy Agency (IEA) menunjukkan bahwa emisi karbon ekonomi semacam ini pada 2022 mencapai 36,8 gigaton! 

Ekofeminisme

Masalahnya, bagaimana mengatasi pemanasan global itu secara mendasar? Filsafat lingkungan ekofeminisme bisa menjadi bagian dari solusi. Digagas oleh filsuf Karen Warren (1947 -2020), ekofeminisme menyajikan satu perspektif etis tentang lingkungan (eco) murni dari sudut pandang perempuan (feminisme). Selama ini, sikap etis manusia dalam mengolah lingkungan lebih didominasi oleh pandangan-dunia maskulin yang secara tradisional lebih diidentikkan dengan rasio atau akal. Bagi Warren juga, pandangan dunia maskulin telah lama mendegradasi perempuan dan alam yang diidentikkan dengan perempuan (ingat istilah Mother Nature untuk menggambarkan alam)

Dengan kata lain, semangat pandangan dunia maskulin-rasional adalah spirit dominasi, manipulasi, dan eksploitasi terhadap alam yang terlalu berpusat pada kepentingan sempit manusia (antroposentrisme). Di sisi lain, pandangan dunia feminis dalam ekofeminisme melawan etika lingkungan maskulin tersebut. Sebagai gantinya, ekofeminisme mengedepankan spirit pemeliharaan alam.

Ringkasnya, mengutip Sonny Keraf dalam Etika Lingkungan (Kompas, 2004), ekofeminisme memiliki tiga ciri. Pertama, ia adalah kritik terhadap cara pikir hierarkis yang menempatkan status lebih tinggi pada manusia karena akalnya. 

Kedua, ekofeminisme mengkritik dualisme nilai antara manusia dan alam yang menempatkan manusia lebih tinggi dibandingkan alam. Padahal yang lebih berterima secara etis adalah dualitas, di mana manusia dan alam setara dan saling membutuhkan serta melengkapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun