Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Martha Nussbaum dan Pendekatan Kapabilitas Dalam Pembangunan

12 Juli 2025   15:50 Diperbarui: 12 Juli 2025   15:58 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap negara pasti menggaungkan kata pembangunan sebagai ringkasan programatik untuk menyejahterakan rakyatnya. Jalan-jalan raya, gedung pencakar langit, investasi, barang-barang konsumsi, semua itu menjadi pertanda kasat mata akan keberhasilan pembangunan.

Adapun mantra pembangunan yang mudah diukur adalah pertumbuhan Produksi Domestik Bruto (PDB) yang rumusnya adalah Konsumsi + Investasi + Pengeluaran Pemerintah  + (Ekspor - Impor). Semuanya lagi-lagi kasat mata dan bisa dikuantifikasi (quantified).

Namun, sayangnya sejarah membuktikan bahwa pertumbuhan tidak selalu berjalan beriringan dengan kesejahteraan masyarakat umum dan pemerataan. Pertumbuhan mungkin saja dikuasai oleh segelintir orang, sementara sisa warga negara lain tetap terperangkap dalam kemiskinan dan penderitaan atau hidup subsisten saja alias pas-pasan.

Lebih celaka lagi, atas nama pertumbuhan, suatu pemerintahan bisa saja membatasi kebebasan dan hak politik warga negara. Sebab, kebebasan justru dianggap akan memicu instabilitas politik dan mengganggu upaya pembangunan maupun kinerja pertumbuhan. Pemerintahan Orde Baru adalah salah satu yang menganut pandangan yang terlalu mengutamakan pembangunan atau developmentalisme ini. Hasilnya, rakyat yang terpuruk nasibnya secara ekonomi dan tidak memiliki kebebasan politik akan mendapati kondisi mereka lebih sengsara lagi.

Pendekatan kapabilitas

Paradigma developmentalisme inilah yang lantas dikritik oleh sejumlah filsuf, salah satunya adalah filsuf perempuan Amerika Martha Nussbaum. Menurut Nussbaum (disarikan dari Pemikiran Tokoh Filsafat Barat Kontemporer, UGM Press, 2023), pembangunan harus berfokus pada pemeliharaan martabat manusia di mana semua manusia memiliki kapasitas moral dan rasional.

Karena itu, Nussbaum menggagas pendekatan kapabilitas, terinspirasi sebagian dari filsuf dan ekonom pemenang Nobel Amartya Sen, yang menekankan pada perlindungan kebebasan guna menjunjung tinggi martabat manusia. Fokus pada martabat manusia ini akan menjadikan manusia sebagai persona subjek, bukan objek atau alat; akan menempatkan kebebasan di etalase depan; mengedepankan pencapaian kualitas kapabilitas; mengatasi ketidakadilan sosial; dan menuntut pemerintah meningkatkan kualitas hidup manusia melalui kapabilitas mereka.

Sepuluh kapabilitas utama

Secara rinci, Nussbaum kemudian membuat daftar 10 kapabilitas utama yang harus dikembangkan di dalam diri manusia untuk meninggikan martabatnya sekaligus mengoptimalkan pembangunan berkualitas. Kesepuluh kapabilitas itu adalah:

1. Kapabilitas untuk hidup. Manusia harus mampu hidup secara berharga sampai akhir hayat layaknya manusia normal

2. Kesehatan tubuh. Manusia harus memiliki kesehatan yang baik.

3.  Integritas tubuh. Manusia dapat bergerak secara bebas, terjamin dan aman dari serangan kekerasan termasuk kekerasan seksual maupun rumah tangga, dan memiliki hak pilih dalam hal reproduksi

4. Indera, imajinasi, dan pikiran. Manusia dapat menggunakan indera, dapat berimajinasi dan bernalar secara sungguh-sungguh manusiawi secara terolah melalui pendidikan yang memadai. Manusia memiliki kebebasan berkesenian dan melakukan ibadah agama.

5. Emosi. Manusia dapat mencintai dan bersedih atas kehilangan orang-orang yang dicintainya.

6. Nalar praktis. Manusia dapat membentuk konsepsi tentang yang baik dan terlibat dalam refleksi kritis terkait perencanaan hidupnya (ini memerlukan perlindungan bagi kebebasan hati nurani dan pelaksanaan ibadah agama).

7. Afiliasi. Manusia dapat terlibat dalam aneka bentuk interaksi sosial (ini memerlukan perlindungan bagi lembaga-lembaga yang mengembangkan bentuk afiliasi tersebut dan perlindungan bagi kebebasan berserikat maupun berpendapat.

8. Spesies lain. Manusia memiliki kapabilitas untuk hidup dengan memperhatikan dan menjalin relasi dengan hewan, tanaman, dan alam.

9. Bermain. Manusia harus memiliki kapabilitas untuk tertawa, bermain, dan menikmati kegiatan rekreasi.

10. Kendali atas lingkungannya. Manusia harus dimungkinkan berpartisipasi aktif dalam politik, dapat memiliki properti, memiliki kesetaraan dengan orang lain, dan bebas dari razia maupun penyitaan tanpa pemberitahuan lebih dulu.

Kalau kita lihat, kesepuluh kapabilitas ini dimulai dengan kapabilitas fisik (hidup, kesehatan, integritas tubuh), dilanjutkan dengan kapabilitas mental (emosi dan akal), dan diakhiri dengan kapabilitas komunal maupun sosial seperti berinteraksi dengan makhluk lain dan membentuk serikat atau afiliasi dengan orang lain.

Artinya, pengembangan kesepuluh kapabilitas ini dalam suatu upaya pembangunan yang komprehensif akan melahirkan manusia-manusia yang seimbang, utuh, sejahtera, dan tergenapi.

Relevansi

Dengan begitu, pembangunan sebagaimana diajarkan developmentalisme sebenarnya menjadi ikhtiar programatik sempit lagi pincang yang hanya akan melahirkan manusia tidak matang dan masyarakat yang senjang. Kesejahteraan terkonsentrasi pada segelintir orang dan ini akan menciptakan suatu masyarakat yang rentan, rapuh, dan sewaktu-waktu bisa runtuh.

Apalagi Nussbaum dalam bukunya The Monarchy of Fear (Simon and Schuster, 2018 sebagaimana dinukil dalam majalah Harper's, August 2018) mewanti-wanti bahwa pemerintah sebaiknya tidak menggunakan pendekatan penuh ketakutan di dalam cara paradigma pembangunannya memandang kebebasan (takut akan instabilitas atau kegaduhan politik, misalnya). Sebab, rasa takut akan membuat orang mencari kendali dari pemerintah otokratik yang mengandalkan kekerasan dan itu tentu tidak diinginkan di dalam suatu masyarakat demokratis.

Dua literatur yang memuat pemikiran dan esai original dari Martha Nussbaum (sumber: dokumentasi pribadi)
Dua literatur yang memuat pemikiran dan esai original dari Martha Nussbaum (sumber: dokumentasi pribadi)

Akhirnya, relevansi dari filsafat politik dan filsafat pembangunan ekonomi Nussbaum adalah himbauan keras bagi pemerintah di negara manapun untuk menjalankan program pembangunan komprehensif yang menjamin harkat dan martabat manusia secara seutuhnya. Jika itu bisa dilakukan, suatu negara akan menjadi tangguh dan sejahtera dalam suatu iklim yang demokratis.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun