Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Mengenali Lima Ciri Investasi Fraud

12 Juli 2025   06:49 Diperbarui: 12 Juli 2025   06:54 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Sebagai seorang pengajar lepas mata kuliah terkait filsafat dan sosiologi politik di beberapa fakultas ekonomi, saya selalu mewanti-wanti mahasiswa saya akan bahaya investasi fraud. Pasalnya, mereka adalah calon-calon investor yang pasti mulai ingin berinvestasi dan di masa depan ketika sudah bekerja serta berkeluarga tentu akan menghadapi berbagai tawaran investasi guna mengamankan masa depan mereka. Jika mereka salah menanamkan uang pada investasi tipu-tipu, uang yang mereka sudah simpan sekian lama bisa lenyap begitu saja dan menimbulkan luka psikologis. Saya juga berharap mereka bisa menyebarkan peringatan ini kepada orang-orang dekat mereka.

Masalahnya, di tengah kemajuan teknologi yang kian pesat, marak juga inovasi di bidang investasi, yang tidak semuanya positif dan kadang berisiko tinggi atau bahkan fraud. Banyak dari kita tentu ingat bahwa produk sekuritas derivatif yang terlalu inovatif ternyata secara umum berkarakter fraud sehingga menjadi salah satu faktor utama pemicu krisis finansial global 2008 (lihat Michael Lewis, Panic: The Story of Modern Financial Insanity, W.W Norton, 2009).

Karena itu, calon investor memerlukan tips cepat untuk mengenali ciri-ciri investasi yang terindikasi fraud atau minimal berisiko sangat tinggi. Berdasarkan bacaan saya terhadap sejumlah literatur ekonomi keuangan, berikut lima di antaranya.

Lima Ciri

Pertama, jika suatu skema investasi terlalu muluk, memang demikianlah adanya. Dalam bahasa Inggris, istilahnya adalah "If it is too good to be true, then it is indeed too good to be true". Tentu indah bisa memetik keuntungan imbal hasil berpuluh-puluh persen dari investasi. Apalagi jika membandingkan dengan produk semisal deposito atau reksa dana yang imbal hasilnya hanya 5 - 25% per tahun. Apalagi jika dijanjikan kita hanya tinggal ongkang-ongkang kaki saja alias investasi itu akan berjalan secara auto pilot.

Hanya saja, mengharapkan itu bagai mimpi di siang bolong. Menurut konglomerat George S. Clason dalam The Richest Man in Babylon (Plume, 1959), salah satu prinsip utama investasi adalah "emas akan lari dari orang yang memaksanya untuk memberi penghasilan yang mustahil atau yang mengikuti bujukan mulut manis para penipu maupun pemimpi di siang bolong, atau yang tidak berpengalaman dan muluk-muluk dalam berinvestasi."  

Kedua, no pain much gain. Padahal, prinsip investasi yang umum adalah no pain, no gain. Tidak ada keuntungan berlipat ganda tanpa bekerja keras. Produk di luar deposito sekali pun pasti memiliki risiko. Produk yang diklaim aman seperti obligasi negara misalnya---apalagi obligasi swasta---punya risiko gagal bayar (default). Sebagai contoh, pemerintah Yunani pada 2008-2009 lalu pernah gagal bayar kepada pemegang obligasi negaranya karena mengalami kebangkrutan. 

Ingat bahwa keuntungan hanya datang lewat mentalitas kerja keras, sikap hemat, dan kemauan belajar untuk memantau pergerakan investasi. Jadi, jika satu produk investasi menjanjikan imbal hasil besar tanpa memaksa investor bekerja keras, produk itu dijamin berisiko tinggi atau malah abal-abal alias fraud. 

Ketiga, hindari investasi bermodel gali lubang tutup lubang. Menurut A Prasetyantoko dalam Ponzi Ekonomi (Penerbit Kompas, 2010), ada tiga tipe pengutang: pengutang berhati-hati (hedge), pengutang spekulatif (speculative), dan pengutang yang tak bisa membayar (ponzi) cicilan dan bunga dari aliran kas yang dihasilkan investasinya. 

Khusus pengutang Ponzi, pada suatu waktu hasil investasi aliran uang yang dihimpun produk investasi ponzi tidak akan mampu memenuhi kewajiban mereka kepada investor. Sebab, tingkat imbal hasil pasti yang mereka tawarkan jelas tak akan bisa terbayarkan lewat investasi pada produk legal apa pun. Guna menunda kebangkrutan, pengutang ponzi biasanya akan meminta investor mencari investor tambahan supaya uangnya dapat diputar guna mencicil kewajiban kepada investor lain.  

Keempat, terkait investasi emas yang sedang tren saat ini karena harganya yang konsisten naik, waspadai produk seperti ETF (exchange-traded funds) dan kontrak berjangka emas. Menurut Michael Maloney dalam Guide to Investing in Gold (Gramedia, 2013), ETF emas adalah sekuritas yang ditransaksikan layaknya saham, tapi bertujuan memantau harga suatu komoditas seperti minyak atau emas. Jadi, kita umumnya tidak memegang emas secara fisik, melainkan hanya kertas. Singkat kata, ETF lebih bersifat produk sekuritas ketimbang investasi emas. Tanpa pengetahuan investasi memadai, investor bisa buntung ketimbang untung. Meski mungkin ada juga investasi seperti ini yang kredibel, investor pemula atau konservatif lebih baik berinvestasi secara konvensional di emas fisik atau tabungan/deposito emas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun