Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Financial

Mewaspadai Paradoks Kesuksesan Ekonomi

1 Juli 2025   09:28 Diperbarui: 1 Juli 2025   09:28 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama ini, banyak negara masih terperangkap dalam pandangan tradisional bahwa salah satu indikator utama mengukur kesuksesan kinerja ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi. Memang, pertumbuhan adalah faktor penting, tapi bukan yang terpenting dan justru bisa melenakan. Mancur Olson bahkan mewanti-wanti tentang bahaya "paradoks kesuksesan".

Terlena sama dengan Bencana

Beberapa dasawarsa yang lalu, Mancur Olson menulis buku berjudul The Rise and Decline of Nations (1982) untuk menganalisa paradoks yang terjadi setelah Perang Dunia II (PD II). Itulah paradoks di mana Inggris yang keluar sebagai pemenang perang justru akhirnya terjerembab ke dalam stagnasi ekonomi, sementara Jerman sebagai pecundang malah tumbuh pesat tahun demi tahun. Keterpurukan Inggris kian mengherankan karena negeri ini adalah pelopor Revolusi Industri.

Berdasarkan analisanya tersebut, Olson lantas mendapati bahwa kesuksesanlah yang sejatinya menghempaskan perekonomian Inggris. Sebab, kejayaan Inggris membuat negeri ini terlena, cepat berpuas diri, alpa melakukan inovasi, dan bahkan mengembangkan penataan ekonomi dan politik yang kaku dan mahal lewat program subsidi, kebijakan proteksionis, dan penarikan dana utang yang berlebihan. 

Alhasil, Inggris abai terhadap perkembangan kompetisi yang begitu pesat di luar sana dan menjadi tertinggal dalam medan persaingan dunia. Singkat kata, Inggris yang terlena adalah Inggris yang di masa depan menuai bencana. 

Berbeda dengan Jerman. Kekalahan habis-habisan negeri Panzer ini justru memberinya peluang untuk membangun kembali infrastruktur fisiknya secara besar-besaran dan memperbaiki penataan politik serta pranata-pranata yang dimilikinya, mulai dari sistem politik hingga ekonomi, secara modern. Dengan kata lain, kekalahan membuat Jerman tertantang untuk kreatif dan bahkan membangun ulang dari nol segala infrastruktur fisik dan mental yang dimiliki bangsa ini.

Nah, belajar dari paradoks kesuksesan ini, Indonesia kini seyogianya harus mulai menyadari bahwa angka-angka makro-ekonomi tidak boleh semata-mata dijadikan ukuran kesuksesan pembangunan ekonomi. Lebih celaka lagi jika pemerintah bahkan mengemohi kritik terhadap arah pembangunan yang berlangsung sekarang ini, apalagi jika pembangunan disinonimkan dengan peminggiran kebebasan politik. Sebab, penafian kritik justru akan memerangkap Indonesia ke dalam lingkaran paradoks kesuksesan sebagaimana dialami Inggris di masa silam. 

Relevansi bagi Indonesia

Maka itu, jika kita mengamini tesis Olson---ekonom sama yang juga berpendapat bahwa demokrasi di suatu negara akan berlangsung baik apabila pendapatan per kapita negara itu sudah mencapai $6.600---Indonesia harus mengadopsi sejumlah solusi untuk menghindari jebakan paradoks kesuksesan. Pertama, Indonesia harus berperilaku fleksibel dalam merancang kebijakan-kebijakan ekonominya. Artinya, pemerintah tidak boleh takut melakukan eksperimen-eksperimen terobosan sekaligus harus berani membatalkan program-program gagal. Juga, pemerintah mesti mencanangkan pengembangan teknologi-teknologi baru seraya membenahi infrastruktur fisik dan mental yang dimiliki bangsa ini.

Sebagai contoh konkret, dari segi kebijakan energi, Indonesia harus cepat membulatkan tekad untuk melaksanakan bauran energi (energy mix) yang mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil (fossil fuel) seraya mengutamakan penggunaan dan pengembangan energi alternatif seperti gas, panas bumi, etanol, nuklir, dan lain sebagainya. 

Tak lupa, pemerintah pun perlu menyeleksi program populis secara lebih ketat, seperti progam Makan Bergizi Gratis (MBG) yang lebih baik jika difokuskan pada kluster daerah dengan malnutrisi parah atau seleksi program beasiswa maupun program Kartu Indonesia Sehat (KIS) supaya tidak salah sasaran hingga dinikmati justru oleh orang mampu. Penghematan akibat seleksi dan kurasi program populis itu kemudian bisa dialokasikan ke proyek-proyek riil yang manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh rakyat, seperti perbaikan transportasi umum, perbaikan jalan raya, pemberian kredit berbunga rendah,pembangunan akses Internet murah, dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun